Wednesday, February 14, 2007

GENGGAM BLITAR 1

GENGGAM BLITAR
20 JANUARI 2007
21 JANUARI 2007

Ini adalah perjalanan yang kesekian kalinya ke Blitar, bagi saya dan team. Berawal pada pertengahan tahun 2004 lalu, kala Boss saya, menitipkan beberapa koleksi pribadinya saat peresmian Museum dan Perpustakaan Bung Karno, oleh Presiden Republik Indonesia, kala itu Megawati Soekarnoputri.

Sejurus setelahnya, saya dan team jadi sering mengunjungi bumi Bung Karno ini. Entah ini perjalanan yang ke berapa, rasanya Bandung – Blitar tidak jauh. Untuk kali ini, saya dan team akan mengerjakan Film Dokumenter(FD) Pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi.

Setelah mempersiapkan bahan – bahan kurang lebih sejak bulan September 2006 lalu, malam ini Sabtu 20 Januari 2007, jam 11 kami mulai bergerak meninggalkan Bandung. Terasa sepi dan biasa – biasa saja saat dalam perjalanan, selain serangan lelah dan kantuk yang terus menghantui kami berdua.

Lepas dari jalan tol Cileunyi, menyisiri kawasan Nagreg, malam itu semakin dingin dan rasa kantuk makin menjadi. Saya putuskan untuk berhenti sesaat untuk tiduran di daerah Pamucatan, 4 kilometer timur Nagreg. Ternyata bablas sampai subuh. Mungkin saking lelah dan ngantuknya.

Perjalanan diteruskan dan kali ini yang memegang kendali rekan Awang Karso. Melintasi Tasik, Ciamis, dan berakhir di Banjar untuk mengisi bahan bakar di SPBU. Sudah mulai agak siang, sekitar jam 9an saat saya mulai mengemudi sudah masuk wilayah Jawa Tengah. Menjelang jam 11an kami melanjutkan perjalanan, menyisiri Wangon, Kebumen, Purworejo, Jogyakarta, Surakarta, Ngawi, Caruban, Nganjuk dan berakhir di Kediri.

Jam setengah sembilan malam, kami sudah sampai di Djengkol – Plosoklaten, 20 kilometer timur Kota Kediri. Ini adalah rumah orang tua saya, tempat transit terdekat ke Blitar. Sesaat setelah mandi, dinginnya angin perkebunan tebu di Djengkol telah menina bobokkan kami. Selamat malam Blitar, esok pagi aku kan datang….

GENGGAM BLITAR
21 JANUARI 2007

Pagi ini Djengkol masih sangat dingin. Setelah minum teh panas dan belum mandi, segera saya tenteng kamera, berjalan sesaat ke timur rumah orang tua saya. Saya ajak Mas Karso pagi ini untuk menjelajah meski sepenggal, masuk dalam hutan tropis yang menjadi kawasan sumber air sejak kali pertama Onderneming Djengkol difungsikan pada akhir abad 18an.

Sebagian besar kami, menyebut hutan ini dengan ALAS NJAMBAN. Dan yang menunggu hutan ini, seorang yang menungguinya kami sebut dengan Mbah Njamban. Orang tuaku menyebutkan, mbah Njamban meninggal tahun 70an, dan istrinya menikah lagi dengan Mbah Rin, yang hingga kini masih mendiami sebuah rumah persis di bagian tepian utara hutan.

Beberapa pohon tinggi besar, semak belukar, jalan setapak, rumpun pohon rotan, dan terangnya sinar matahari pagi yang menerobos celah celah rimbunnya hutan menjadi obyek bidikan rekan Awang Karso. Nantinya gambar kawasan hutan ini akan menjadi salah satu ilustrasi gambar dalam FD yang sedang kita kerjakan.

Jam setengah delapan pagi, perjalanan dalam hutan kami akhiri di sumber air Njamban. Kami mensegerakan pulang, dan mandi untuk segera siap-siap berangkat ke Blitar.

Nasi pecel dan tumpang yang jadi menu sarapan, menjadi penanda persiapan kami berangkat.

Jam sembilan pagi, saya sudah berada di Blitar. Seharian ini banyak agenda konsolidasi dan persiapan persiapan tehnis. Barang – barang yang kami bawa dari Bandung, yang tadinya menyesaki bagian belakang mobil, kami turunkan di Mahardhika FM. Esok akan kami tata, smua peralatan yang sudah kamis siapkan ini.

GENGGAM BLITAR
22 JANUARI 2007

Agenda hari ini adalah menyiapkan tempat untuk peralatan sekaligus ruangan untuk workshop dan basecamp. Seperti saat saya mengerjakan FD 100 tahun kota Blitar, serta Profil Kota Blitar, kami menempati ruang yang ber AC, cukup luas dan sangat-sangatt representatif.

Setelah inventarisir sumber daya, lokasi pengambilan gambar dan mengumpulkan berbagai materi dokumen berupa catatan-catatan dan buku, maka mulailah kami beraksi. Malam ini pemain rebab namanya Mas Danang dan suling namanya Mbah Bonari, sudah dijemput rekan Agus. Beberapa minggu sebelumnya memang sudah saya pesan untuk menyiapkan tukang suling dan rebab, yang akan kita rekam audionya.

Rekaman audio suling dan rebab, berakhir jam 10 malam. Mas Gondo Hadi Mahardhika FM yang saya percayakan untuk merekamnya menunjukkan hasil rekaman itu. Hasilnya cukup memuaskan. Nantinya suara rebab dan suling akan juga menjadi bagian ilustrasi musik FD ini.


GENGGAM BLITAR
24 JANUARI 2007

Berkeliling dalam kota dan wilayah Kabupaten Blitar hari ini terlaksana dengan indah. Sengaja kami datangi beberapa tempat yang nantinya akan menjadi lokasi pengambilan gambar. Diantaranya bangunan bangunan tua yang pada saat pendudukan Jepang menjadi tempat vital, eks. Asrama PETA di jalan Shodancho Supriyadi, stasiun, alun – alun dan masih banyak lagi tempat dalam kota Blitar yang siang hingga sore hari itu kami datangi.

Pagi harinya, saya masih kembali konsolidasi ke Bappeda untuk mengambil beberapa materi pendukung yang kemarin belum sempat kami bawa. Rekan Herry dan Ekko menemani kami pula sepanjang hari itu, dan hari – hari sebelumnya selama kami di Blitar.

Malam hari, usai makan saya ditangi mas Agung Biting Music. Saat membuat FD 100 tahun Kota Blitar, mas Agung juga banyak membantu membuat musik ilustrasinya. Kali ini dengan tugas yang sama, kami diskusikan musik untuk ilustrasinya. Beberapa musik saya copykan ke CD dan saya serahkan ke Mas Agung untuk dipelajari, setidaknya sebagai bahan rujukan.

GENGGAM BLITAR
25 JANUARI 2007

Hari ini kita harus segera ke Pantai Tambak. Bertiga dengan rekan Awang dan Agus, kami pacu dengan pasti TAFT 89 yang telah saya persiapkan untuk menuju pesisir selatan Kabupaten Blitar ini.

Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 1,5jam, sampai juga akhirnya kami di bagian barat Blitar ini. Sepi, rupanya aktifitas nelayan tambak tidak sepadat nelayan di Pantura, yang sering saya lihat.

Bentangan pantai ini sungguh indah, belum lagi perjalanan darat menuju pantai yang melintasi daerah dataran tinggi, bukit bukit, lembah dan jurang yang curam. Semua menghijau. Sementara jika memandang jauh ke selatan, membiru. Sebelum sampai di pantai, kami sempat membidik beberapa panorama indah itu.

Berdiri di sisi pantai, berdiri di pegunungan jauh memandang laut selatan lepas, rasanya kita kecil, bahkan sangat – sangat kecil.

Keagungan Tuhan begitu terasa bila kita sudah berada pada posisi ini. Sungguh indah Indonesia ini. Pantaslah, banyak bangsa asing ingin menguasai kita sejak beratus abad yang lalu. Bahkan, hingga kini mungkin masih banyak bangsa lain yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Pantai Tambak adalah salah satu dari dari tiga pantai di blitar yang dijadikan tempat kerja paksa / romusha saat pendudukan Jepang. Di tempat ini pula, para pemuda yang tergabung dalam Tentara Pembela Tanah Air dari Blitar melakukan berbagai latihan perang dan pertahanan dari serangan musuh.

Karena saking eksotisnya pantai ini, dan sangat sayang kalau hanya kami eksplorasi dengan hanya satu kamera, maka saya putuskan untuk mengoperasionalkan 2 kamera sekaigus. Rekan Awang Karso bagian timur, dan saya di bagian barat pantai.

Matahari sudah mulai tenggelam di ujung barat. Sore itu segera kami tinggalkan pantai tambak dengan berbagai pertanyaan seputar kondisi pantai pada jaman pendudukan Jepang dulu. Perkiraan saya, dulu tentu masih rimbun hutan didepan pantai Tambak ini. Belum lagi, mungkin wingit dan angker.

Jam 8 malam, kami kembali tiba di Blitar. Saya dan team diberi hadiah capek badan dan kelelahan sepulang dari Pantai Tambak. Tapi capek itu segera hilang, setelah kami puas eksplorasi diri disana.



GENGGAM BLITAR
26 JANUARI 2007

Semalam saya sudah kontak dengan Drs. Imam Brontak Rahardjo MBA, seorang generasi penerus para pejuang PETA yang menjadi pengurus Korps PETA Jawa Timur, berlokasi di Madiun. Informasi ini kami dapatkan dari pengurus YAPETA Jawa Barat.

Dalam perbincangan singkat dengan Mr. Brontak, disebutkan bahwa akan datang Ketua Korps PETA Jatim, H.Ahmad Soetjipto Kertodjojo ke kantor di jalan DI.Panjaitan Madiun.

Perjalanan Blitar – Madiun, kami tempuh dalam tiga jam, mengitari dalam kota, sesaat kami tanyakan posisi jalan Panjaitan dan alhamdulillah, tidak sulit menemukannya.
Kami disambut dengan hangat oleh Mr. Brontak dan segenap pengurus yang lain. Sambil menunggu kedatangan Pak Tjipto, kami persiapkan dua kamera dan peralatan lainnya untuk wawancara. Tidak berapa lama, sekitar jam 10an, yang kami tunggu telah datang, bahkan mengajak serta Pak Satam Yudho Atmodjo eks Budancho Kediri, kini ketua Korps. PETA Nganjuk.

Pak Soetjipto, adalah bekas Shodancho, Surabaya dan karier kemiliterannya berakhir dengan pangkat Brigadir Jenderal. Catatan lainnya, beliau adalah Danyon 511 Blitar, pertama periode 1945 – 1957. Banyak fakta baru yang kami dapat seputar peristiwa pemberontakan PETA Blitar, khususnya diluar daidan Blitar.

Belum lagi kisah pak Satam, eks. Budhancho Kediri yang dikirim ke Blitar untuk ikut menumpas pemberontakan yang di pimpin Supriyadi. Pak Satam menyebutkan, kala itu dia dan juga PETA Kediri hanya mendapatkan khabar bahwa Tentara Sekutu telah mendarat di Blitar Selatan, maka tentara PETA Kediri ikut dikerahkan untuk menahan serangan itu. Ketika hendak masuk Blitar baru diketahui, bahwa khabar itu adalah bohong, dan yang terjadi adalah Peta Kediri harus ikut menumpas saudaranya sendiri yang sedang berontak yaitu, PETA Blitar.

Karena jelas melawan bangsanya sendiri, maka regu pak Satam memutuskan kembali ke Kediri lagi. Sebagai resikonya, seluruh Tentara PETA Kediri dihukum dengan dijemur setiap hari selama berbulan-bulan, bahkan dikirim tugaskan ke daerah pegunungan di wilayah Nganjuk.

Jam 1 siang, kami meninggalkan Madiun dan sampai di Kediri sekitar jam setengah tiga sore. Perjalanan dilanjutkan menuju ke Pamenang Pagu Kabupaten Kediri. Dalam FD ini akan ada ilustrasi mengenai Raja Kediri Jayabaya yang meramalkan mengenai kedatangan bangsa asing yang menjajah Nusantara. Untuk bekal ilustrasinya, maka kami mendatangi petilasan sri Aji Jayabaya didesa Pamenang.

Sepulang dari Pamenang kamu melewati simpang lima Gumul, timur Kediri. Sebuah tugu persegi empat yang sangat besar dan tinggi sedang dalam proses pembangunan menggoda kami untuk berhenti sesaat. Seperti di Paris, ada monumen dimaksud. Berfoto sejenak, lalu kami teruskan perjalanan ke Blitar.

Jam 8 malam, kami tiba di Blitar dan langsung memindahkan gambar dari kamera ke komputer. Malam makin larut, saya sulit tidur. Beberapa hasil hunting saya ceck, dan baru jam 1 dinihari saya mulai merebahkan badan di sofa ruangan kerja pak Sidik di Mahardhika FM, malas pindah ke ruang tidur, sampai akhirnya dibangunkan rekan Agus jam 4 an shubuh. Rencananya pagi ini kami harus ke Jolosutro, pantai pesisir selatan Blitar lainnya.
GENGGAM BLITAR
Sabtu, 27 JANUARI 2007

Setengah lima pagi, kami mulai meninggalkan Kota Blitar menuju Pantai Jolosutro. Berempat, saya, Awang Karso, Agus dan Edo Mahardhika,perjalanan menyisiri Kanigoro, Sutojayan, Bumiayu, (masuk wilayah Kecamatan Wates) Binangun, Sumberarum, Sukorejo, Ringinrejo dan sampailah kami di Pantai Jolosutro.

Perjalanan yang sungguh mengasyikkan. Jalanan mulus, mulai berganti dengan jalanan bergelombang, rusak dan berkelok-kelok, naik turun. Mulai dari rumah penduduk, persawahan, perkebunan, perbukitan, hingga kawasan pesisir.

Matahari pagi jam 7, saat itu tidak nampak karena mendung. Dua kamera kami turunkan serta. Berbagi tugas, setelah kami jelajahi kawasan timur dan barat yang membentang kurang lebih 1000 meter. Rekan Awang Karso dan Edo sempat mencari gua jepang di bukit timur, tapi tidak dapat diketemukan. Akhirnya merapat ke arah barat dan dapat menemukan salahsatu gua jepang yang kala itu dikerjakan para Romusha.

Pak Sairin adalah penduduk setempat yang kami jadikan pemandu kami. Melewati sebuah bukit batu cadas terjal, naik kurang lebih 20 meter dari bibir pantai, baru gua jepang dapat kami temukan.

Saya memutuskan untuk tetap berada di di areal parkir pantai. Sebuah informasi saya dapat mengenai saksi mata saat pendudukan Jepang, dan kebetulan kini menjadi pedagang makanan dan minuman di kawasan pantai ini.

Bu Sumiati, pemilik warung paling ujung selatan dekat pantai adalah narasumber yang dimaksud. Kepadanya saya sampaikan niat untuk mewawancarainya, dan Alhamdulillah, bersedia. Sumiati kala jaman pendudukan Jepang berusia belasan tahun. Orang tuanya adalah salah seorang yang dikirim ke Jolosutro untuk dijadikan tenaga Romusha. Dia sendiri berkisah tentang susahnya hidup pada jaman itu.

Menariknya, Sumiati masih fasih menyanyikan lagu lagu berbahasa Jepang dan lagu-lagu yang digunakan sebagai alat propaganda Jepang kepada kaum pribumi.

Ada lagi Sutrisno, yang kini juga menghuni kawasan pantai ini dengan berdagang saat banyak pengunjung pantai. Dia bertutur tentang Kakeknya yang juga dikirim ke pantai ini untuk Romusha. Sedih, itu yang dirasakannya, saat ingat kesengsaraan kakeknya dan warga Indonesia kala itu.

Di Jolosutro, kami juga memotret rumah – rumah penduduk yang tidak banyak. Sebagian masih berbahan dari papan kayu dan gedeg, tidak ada aliran listrik PLN dan sepi sekali hari Sabtu itu.

Jam 1 siang, kami mulai meninggalkan Jolosutro. Perjalanan benar benar membuat saya lelah. Saya tertidur di mobil, begitu bangun sudah mulai masuk daerah Binangun. Karena kami semua kelelahan sampai perjalanan sempat nyasar ke arah Malang.

Mas Agus memutuskan untuk tidak melewati rute saat berangkat tadi, tapi melintasi Kesamben, dengan alasan jalannya lebih enak dilalui dan tidak banyak yang rusak.

Jam 3 sore kami memasuki wilayah Wligi, mampir untuk makan siang di rumah makan Uceng. Uceng adalah sejenis ikan kecil kecil yang hidup di sungai disekitar Blitar. Ya lumayanlah, setidaknya menu makan siang kali ini tidak pernah saya dapati di Bandung. Jam setengah lima sore, kami sudah sampai kembali di Blitar.

GENGGAM BLITAR
Minggu, 28 JANUARI 2007

Piyuuuuh, hari ini lelah yang berkepanjangan seri ke berapa ya…
Pagi jam 10an team meluncur meninggalkan Kota Blitar ke arah timur, menuju Desa Sumberagung – Kecamatan Gandusari. Sebuah jalan beraspal yang membentang sejauh 1000 meteran, sangat teduh dan sejuk ditumbuhi pohon pohon yang menghijau, kiri kanannya persawahan dan di bagian utara dari kejauhan nampak Gunung Kelut, menjadi obyek pengambilan gambar.

Menyusuri suasana jalan yang asri ini, diujung baratnya terdapat Kantor Desa Sumberagung. Siang itu nampak beberapa pekerja sedang merenovasi balai desa. Sebuah prasasti/ tugu pengeling- eling berdiri kokoh disamping papan nama Desa Sumberagung. Tertera sebuah kalimat :POS PERTAHANAN SUPRIJADI PADA WAKTU PEMBRONTAKAN PETA TANGGAL 14 FEBRUARI 1945.

Tugu setinggi sekitar 2 meter ini sangat sederhana. Berbentuk empat persegi panjang dan diatasnya diletakkan batu yang pada bagian depannya sebuah marmer yang sudah kusam dengan kalimat tadi. Paling atas dari bagian tugu ini adalah tiga buah pipa besi yang dirupakan seperti bambu runcing, dan dibawahnya sebuah topi PETA.

Setelah pengambilan gambar di lokasi sekitar balai desa Sumberagung dari beberapa sudut, perjalanan kami lanjutkan ke sekitar Karang Nongko, sebuah kawasan bekas perkebunan tidak jauh dari lokasi wisata Candi Penataran di Kecamatan Nglegok.

Tidak jauh dari jalan raya, kami sudah mendapati gapura masuk ke arah eks perkebunan kopi ini. Di sebelah kiri jalan, nampak masih tersisa bekas pabrik pengolahan kopi yang kini tinggal puing puingnya saja. Sebuah kincir air, yang masih bisa berfungsi tak luput dari bidikan kamera team. Untuk mendapatkan gambar ini team harus masuk kedalam areal bekas pabrik peninggalan jaman Hindia Belanda ini.

Kami perkirakan, tentara PETA yang kala itu melakukan pemberontakan melalui kawasan ini, sehingga sayang kiranya kalau tidak mengekspose sisa – sisa eksotisme perkebunan ini.

Hari menjelang siang tepat matahari berada persis diatas kami. Team melepas lelah sejenak dengan minum es kelapa muda yang kedainya di pinggiran pertigaan tidak jauh dari gerbang masuk eks perkebunan Karang Nongko.

Tujuan team berikutnya adalah sekitar Candi Penataran. Hanya sekitar 30 menit, team kecil ini, kami bagi dua kelompok. Kelompok pertama melakukan pengambilan gambar di dalam kompleks Candi dan kelompok saya mengambil gambar di luar kawasan candi. Memang tidak catatan yang menyebutkan bahwa tentara PETA melewati secara dekat dengan Candi Penataran, hanya saya berpikir sebuah ilustrasi atau gambar skesta penunjang film dokumentasi jika bersetting kebanyakan tidak akan banyak membantu rekonstruksi ke-khas an daerah tertentu tanpa memunculkan sesuatu yang yang khas pula.

Sekitar pukul 13.30 WIB, team melanjutkan perjalanan ke arah Wates dan Ngancar, masuk wilayah Kabupaten Kediri. Melintasi laharan, team berhenti sesaat untuk merekam gambar Gunung Kelut dari kejauhan. Disini kembali sebuah eksotisme alam terbidik dengan indah.

Desa Sumberasri kami lalui, menuju sekitar Pasar Pathok Bedali, Kunjang dan berakhir di Wates. Sesaat team mengisi perbekalan untuk mobil D 1677 HD yang mebawa kami dalam perjalanan ini, dan sesaat saya mampir ke ATM BCA Wates. Di timur BCA, tidak jauh dari pertigaan bundaran Wates terdapat sebuah bangunan bergaya Hindis yang tidak lupuit dari jepretan. Bangunan kuno berarsitektur Eropa itu adalah gedung Pegadaian. Keaslian bangunan masih dipertahankan.

Pukul 14.00 WIB, perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalan kota Wates, menuju ke arah timur melintasi desa Tawang, Jagul, Pandantoyo dan berakhir di Ngancar. Sebelum sampai di Ngancar, team masuk kawasan perkebunan Sumberlumbu, yang masuk dalam lingkup kerja PG. Ngadiredjo. Sebuah rujukan informasi menyebutkan bahwa Kolonel Katagiri melakukan pertemuan dengan para pimpinan tentara PETA, pasca pemberontakan di kawasan Emplasemen sumberlumbu ini. Upaya team untuk mengambil gambar belum dapat dilakukan karena sesuai prosedur harus dilengkapi dengan surat pemberitahuan kepada Administratur PG. Ngadiredjo.

Meninggalkan Sumberlumbu, kami berhenti di pertigaan Ngancar. Jalan lurus ke timur adalah jalan menuju Kawasan Wisata Kelut dan ke arah kanan adalah jalan menuju arah kantor Kecamatan Ngancar. Kami memutuskan untuk jalan ke arah lurus untuk makan siang sejenak. Soto Daging ‘Mbak Oshin’ jadi pilihan tempat makan siang, atau tepatnya makan waktu setengah sore, karena sudah jam 3an.

Usai makan, perjalanan kami lanjutkan melalui Desa Manggis. Kiri kanan jalan yang naik turun ini adalah Hutan Sengon. Sebuah gapura yang hampir tidak terawat menjadi obyek bidikan kamera team kami. Kurang lebih sekitar 6 kilometer, jalan kondisinya rusak, kalau tidak mau dibilang tidak layak untuk dilalui. Apalagi semenjak masuk perbatasan antara Kabupaten Kediri – Blitar (desa Manggis dan Gambar) kami melewati jalan desa tidak beraspal, dengan fasilitas penunjuk arah yang sangat tidak representative.
Tapi mungkin inilah perjalanan yang mengasyikan ada saatnya kami melewati jalan mulus tanpa gelombang dan lobang, pada bagian lain kami harus mendorong mobil yang kami tumpangi karena rusak beratnya jalan yang kami lalui.

Seakan kami enggan mensegerakan sampai di Kota Blitar, tatkala kami berada di pertigaan jalan tepat di areal Perkebunan Gambar. Sebuah plang penunjuk lokasi bertuliskan ‘ CANDI GAMBAR WETAN’ membuat kami penasaran untuk mendatanganinya. Seorang Satpam di perkebunan Gambar yang kami tanya mengatakan bahwa Candi Gambar hanya berjarak 1 kilometer dari tempat kami berhenti.

Arloji saya sudah menunjukkan pukul 16.30WIB, ketika kami putuskan untuk nekat mendatangi lokasi candi. Ampun, benar – benar ampun. Ini adalah kalimat yang terucap dari mulut sebagian besar anggota team. Jalan yang harus kami mlalui adalah sebuah jalan perkebunan yang sebenarnya sangat – sangat tidak layak untuk sebuah akses memasuki kawasan situs bersejarah.

Adalah jalan tak beraspal. Hanya jalan biasa yang ditumbui rumput liar setinggi hampir 40 cm, dan sempit. Kiri kanannya adalah ladang tebu. Setelah lebih dari 1 kilometer kami lalui, sebuah kawasan yang dipagari kawat berduri setinggi 1,5 meter dengan sebuah plang bertuliskan CANDI GAMBAR WETAN, akhirnya tepat berada di dekat kami parkirkan mobil. Pintu masuknya di gembok, dan terlihat di pos penjagaan rupanya kosong tidak ada penjaganya.

Awang Karso, kamerawan kami nekat masuk dengan menerobos celah - celah pagar kawat berduri, yang diikuti oleh rekan Herry dan saya sendiri akhirnya memutuskannya untuk masuk dengan cara yang sama.

Sebuah tangga berundak-undak sejauh 100 meter dengan kemiringan sekitar hampir 60 derajat, berakhir pada sebuah candi yang membuat kami penasaran. Terawat tapi rupanya bagian atas candi entah karena usia, bencana Gunung kelut meletus, atau sebab lain, menjadikan Candi ini hanya berupa pondasi setinggi 1 meter.

Disekeliling candi, ditanami pohon bunga mawar, dan lokasi candi tepat ditepian sungai lahar kelut. Sangat-sangat indah. Sejauh mata memandang ke arah Barat dan Selatan terlihat bagian perbatasan antara Kabupaten Blitar dan Kediri, dari tepat diatas Candi. Candi Gambar Wetan, letaknya di sebuah perbukitan yang memungkinkan untuk dapat memandang lepas jauh ke arah yang lebih rendah.

Membidiknya menjadi sebuah gambar (foto dan video) adalah hal yang wajib kami lakukan, mumpung berada di lokasi ini. Saya berkesimpulan, tidak banyak orang kebanyakan mengunjungi Candi ini. Wajar, karena sebagian masyarakat Indonesia lebih mengenal Candi Penataran yang identik dengan Blitar, ketimbang Candi Gambar Wetan yang terletak didaerah yang bisa dianggap terpencil ini.

Hampir jam setengah enam sore, saat kami tinggalkan kawasan Gambar. Perjalanan baru sekitar 1 kilometer, saat Kabel spedometer mobil yang kami tumpangi lepas. Sejenak diperbaiki rekan Awang Karso, akhirnya kami lanjutkan perjalanan. Perkebunan Gambar rupanya diapit oleh sungai aliran lahar Kelut.

Tiga kilometer meninggalkan kawasan Gambar, kami akhirnya menemukan jalan beraspal yang mengarah ke Penataran. Tak jauh dari kami mulai masuk jalan beraspal, sebuah kawasan hutan dengan beberapa pohon yang sangat besar membuat kami harus kembali menghentikan mobil. Temaram tidak menghentikan niat kami untuk mengetahui kawasan yang terletak dipinggir jalan raya ini.

Seorang kakek yang rumahnya tepat diseberang kawasan ini menyebutkan bahwa Hutan Lindung ini adalah Hutan Lindung dan Sumber Air dibawah penguasaan PTP XII Kebun Bantaran – Bagian Penataran. Pada sebuah plang berwarna hijau di pinggir kawasan ini, terpampang tulisan luasnya sekitar 5,21 Hektar.

Beberapa jepretan kami dapatkan, dan segera kami tinggalkan kawasan ini untuk segera meluncur ke Kota Blitar. Jam 7 malam kurang sedikit, saya dan team akhirnya tiba di Bumi Bung Karno, Blitar.

GENGGAM BLITAR
Senin, 29 JANUARI 2007

Hari ini, pagi pagi saya harus berada di Balai Kota Blitar, untuk dokumentasikan kegiatan Pak Djarot Walikota, yang membuka kegiatan seminar KNPI. Sebagai bahan untuk ilustrasi peran pemuda dimasa kini, rasanya sayang kalau kegiatan ini tidak diambil gambarnya.

Rekan Awang Karso memasang dua kamera sekaligus untuk aksi hari ini. Setelah acara mulai berjalan, saya menyempatkan untuk diskusi dengan Pak Catur di Bappeda. Banyak hal kami bincangkan mengenai pengerjaan FD ini.

Saat makan siang, saya sempatkan untuk jalan disekitar BNI Blitar. Sebuah monumen yang baru baru ini diresmikan menjadi obyek jepretan. Monumen itu adalah monumen TRIP. Di pertigaan arah Pasar Templek.

Jam 3an sore acara di BalaiKota usai. Saya dan rekan Awang Karso, serta Herry Bappeda, meluncur ke arah Karang Tengah. Sebuah Prasasti yang akhirnya kami namai PRASASTI KARANG TENGAH, menjadi obyek jepretan kami. Khabar terakhir, Pemerintah Kota akan memindahkan prasasti itu untuk diteliti lebih jauh dan diletakkan untuk sementara di Museum Bung Karno.

Sepintasa prasasti ini sulit dibaca tulisannya. Menggunakan huruf Jawa Kuno atau mungkin Pallawa, tekstur hurufnya di sebuah batu mulai tidak terbaca karena batu prasasti ini juga ditumbuhi lumut dan jamur.

Saya hanya bertanya dalam hati, apa ya isi prasasti ini. Lalu siapa yang membuatnya. Kenapa letaknya didalam wilayah Kota Blitar? Tetapi sudahlah, tentu akan ada team yang akan menelitinya. Semoga kedepan kita akan tahu lebih jauh, peradaban masa lalu bangsa ini.

GENGGAM BLITAR
Selasa, 30 JANUARI 2007

Pagi ini 2 orang sepuh datang menemui saya di Mahardhika FM. Mereka adalah Pak Ibnoe dan Pak Soedarsono, pengurus Korps PETA Blitar untuk mengambil surat titipan dari Korps PETA Jatim, saat saya ke Madiun beberapa hari lalu.

Dua orang tokoh TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) ini sangat begitu antusiasnya saat diajak berbincang mengenai Pemberontakan PETA Blitar. Kami dijanjikan untuk dapat berbincang bincang lebih lanjut jam 1 siang.

Jam 1 siang saya bersama rekan Awang Karso dan Edo menuju ke rumah pak Alifan Ketua Korps PETA Blitar, seorang bekas tentara PETA di daidan Malang, pensiunan TNI berpangkat Letnan Kolonel. Pak Ibnoe dan Soedarsono, sudah berada di lokasi tersebut.

Setelah kurang lebih 2 jam saya berada di sana, segera saya meluncur ke rumah pak Pairi, mantan gyuhei PETA Blitar. Dari beliau kami banyak mendengar kisah dan fakta yang selama ini hanya kami dapatkan dari buku – buku penelusuran sejarah pemberontakan PETA Blitar.

Lebih kurang satu jam, akhirnya kami meninggalkan rumah Pak Pairi. Selanjutnya kami menuju Blitar. Sudah semakin banyak materi yang kami dapat. Tetapi saya merasa masih kurang banyak. Tunggu besok..

GENGGAM BLITAR
Rabu, 31 JANUARI 2007

Jam 10 kami mulai bergerak untuk kembali menjumpai narasumber – narasumber untuk bahan FD. Bersama rekan Ekko & Herry Bappeda, saya, Awang Karso dan rekan Edo Mahardhika, kunjungan pertama kami ke rumah pak Baidji, mantan tentara PETA yang tinggal di jalan Dewi Sartika 30 Kota Blitar.

Kami di terima dengan baik oleh istrinya Sukarmi. Kami baru tahu kalau pak Baidji telah meninggal dunia pada 20 agustus 2006 lalu. Sayang, seorang pelaku sejarah langsung pemberontakan PETA ini tidak bisa kami dengarkan lagi kisahnya. Beruntung bu Sukarmi, masih mampu menceritakan sedikit beberapa kisah perjuangan Baidji.

Hari semakin siang, kunjungan kami berikutnya ke jalan Slamet Riyadi 100 Kota Blitar. Sebuah rumah gaya lama dengan bertuliskan PETA, Perintis Kemerdekaan dekat nomor rumah itu adalah rumah Moesidi, bekas Bhudancho PETA Blitar.

Moesidi Combre, demikian panggilannya. Atau Moesidi Celeng, adalah pensiunan Polisi. Dari mbah Moesidi ini kami juga banyak mendengarkan cerita mengenai pemberontakan yang dipimpin Supriyadi ini.

Beberapa foto lama yang dimiliki mbah Moesidi juga kami pinjam untuk sekadar dokumentasi dan mungkin kami butuhkan untuk ilustrasi FD ini nantinya. Mbah Moesidi Combre, orang yang asyik untuk diajak ngobrol, ramah, familiar dan beliau secara fisik masih sehat walafiat, hingga mampu menguras rasa penasaran kami untuk terus bertanya tentang jaman jepang, PETA dan tentu masa muda beliau sebagai tentara.

Jam 1 siang kami bergeser ke jalan Prambanan 43 Blitar untuk menemui Slamet Djamus kelahiran 1925, eks Gyuhei PETA Blitar. Alhamdulillah beliaupun masih sehat walafiat dan lancar bertutur tentang peristiwa 14 Februari 1945 itu.
Dari Slamet Djamus, kami mendapat informasi mengenai keberadaan tentara PETA lainnya, yang satu regu dengan Supriyadi yaitu Mbah Tukirin (kelahiran 1921) di daerah mBendo, ponggok Kabupaten Blitar.

Hampir satu jam lebih kami berada dirumah mbah Tukirin, yang juga masih lancar bertutur kisah pemberontakan yang dialaminya 62 tahun yang lalu ini. Mbah Tukirin meyakini, pasca pemberontakan itu, Supriyadi pasti tidak tertangkap karena kesaktiannya.

Jam setengah enam sore, kami meninggalkan rumah mbah Tukirin, dan jam 6 sore, kembali saya dan team sampai di Mahardhika FM.


GENGGAM BLITAR
Kamis, 01 February 2007

Pagi jam setengah enam, saat bangun udara masih sangat dingin. Mobil yang kami parkir di halaman studio Mahardhika FM rupanya basah, lebih dari sekadar kena embun. Tadi malam hujan rupanya. Saking terlelapnya tidur, saya tidak tahu kalau hujan saat malam.

Setelah selesai mandi, sekitar jam tujuh pagi, saya dan rekan Awang Karso mulai meninggalkan kota Blitar. Beberapa hari ini nama sebuah tempat di timur Gunung Kelut dan baratnya Gunung Kawi, membuat kami penasaran. Desa itu namanya KRISIK. Sebuah desa yang langsung berbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang, masuk dalam lingkungan Kecamatan Ngantang.

Pukul 07.45 WIB, sebelum sampai di Krisik, setelah melewati Kota Wlingi, kami berhenti sesaat di pasar Semen untuk sarapan. Pagi itu aktifitas pasar masih sangat ramai. Sangat sangat tradisional. Sebuah topi tani, terbuat dari bambu yang sangat lebar serta sebuah topi bambu gaya ‘topi laken’ saya beli dengan harga 20 ribu rupiah. Saya tertarik untuk membeli topi tani itu karena lebarnya. Pikir – pikir, saat pengambilan gambar di lapangan jika panas menyengat tidak perlu lagi membawa payung, cukup dengan topi tani ini.

Usai menikmati suasana guyub asli pedesaan di pasar Semen, perjalanan kami lanjutkan. Melewati kawasan PTP XII Kebun Bantaran, menghijau hamparan tanaman teh bak permadani. Di sebelah kanan menghampar sawah dan sebuah sungai aliran lahar. Berpasir dan baru batuan berserakan, mulai yang besar hingga yang kecil kecil.

Sebuah jembatan Balley, sepanjang kurang lebih 200 meteran ternyata menjadi tanda masuk desa KRISIK. Sepanjang sekitar 3 kilometer kami mendapati pertigaan dan pangkalam ojeg. Pagi itu, kami belum menemukan petunjuk adanya sisa sisa ‘jaman pendudukan jepang’. Dari informasi yang telah kami himpun selama ini, disebutkan dalam sebuah buku catatan sejarah, bahwa kala itu para romusha di pekerjakan di daerah Ngantang untuk membuat kubu-kubu pertahanan, jalan dan sebagainya. Sedang sebelumnya juga telah kami dengar langsung dari mantan Tentara PETA yang kami wawancarai menyebutkan, romusha dan PETA dikirim ke daerah KRISIK.

Berbekal dua informasi tadi, maka saya putuskan untuk langsung menuju Ngantang, melewati kawasan wisata Waduk Selorejo. Sampai juga akhirnya pagi itu kami di Ngantang. Karena minimnya informasi mengenai lokasi yang dulu digunakan untuk para Romusha bekerja, maka kami langsung menuju ke Kantor Kecamatan Ngantang, dengan harapan mendapatkan setitik kecil informasi.

Seorang pegawai Kecamatan Ngantang menunjukkan kepada kami, tidak jauh dari kantor kecamatan ada seseorang yang disebutkannya sangat mengerti sejarah masa lalu situasi & masyarakat Ngantang tempo doeloe. Sayang saat kami sudah berada di rumah yang dimaksud, si empunya rumah yang konon juga pernah menjadi tenaga kerja paksa jaman Jepang itu sedang bepergian ke Malang.

Buntu informasi, sepasang suami istri lanjut usia yang berada tepat disamping calon narasumber yang kami cari tadi, memberikan sebuah titik cerah, meski sedikit. Mereka menyebutkan bahwa, dulu para ratusan bahkan ribuan romusha pernah transit di Selorejo. Bahkan, disebutkan pula bahwa dirinya dulu juga sempat menjadi tenaga di bagian dapur untuk menyediakan makan untuk Romusha.

Wanita renta beranak 13 orang ini menyebutkan, Romusha yang akan dikirim ke daerah pantai selatan dan Blitar, biasanya sehari dua hari menginap di Selorejo, diberi makan seadanya dan langsung diberangkatkan esoknya menggunakan truk – truk tentara, dengan pengawasan ketat Tentara Jepang. Disebutkan pula selain dipekerja paksakan di pantai selatan, mereka juga dikirim ke perbatasan Blitar – Malang untuk membuat kubu-kubu pertahanan.

Sebelum meninggalkan Ngantang, dipertigaan kami sempatkan untuk memotret sebuah monumen pejuang, yang setelah kami perhatikan seksama ternyata sebuah monumen untuk memperingati peristiwa agresi Militer Belanda 1947 – 1949 di sekitar Ngantang yang sering disebut dengan Peristiwa Mendalan. Mendalan adalah sebuah kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air di sekitar Kasembon, sebelah barat Ngantang.

Tak jauh dari pertigaan Ngantang sebuah gapura besar berwarna biru di jalan raya Ngadirejo yang menghubungkan Malang – Kediri, menggoda kami untuk berhenti sesaat. Pernah saya baca, entah dari koran atau melalui sebuah website di internet bahwa KARAENG GALESONG, putra Sultan Hassanudin Raja Goa Makkasar ke 16, yang juga menantu Trunojoyo seorang pahlawan yang gigih menentang VOC abad ke 17) dimakamkan di Ngantang.

Terlanjur sampai Ngantang, ada baiknya kami mampir sesaat ke makam pahlawan dari Makkasar ini. Makam KARAENG GALESONG, berada di sebuah makam umum desa setempat, tak jauh dari Taman Makam Pahlawan Mustadjab Ngantang.

Makam yang berada ditengah makam umum itu dipagari besi, didalamnya pagar bata utuh yang disusun rapi tanpa di rekatkan layaknya tembok. Sebuah tetenger dibuat dari marmer dan dituliskan riwayat singkat Karaeng Galesong (KG) menjadi penandanya. Yang membuat kami takjub adalah, batu bata makam yang berbeda dengan batu bata jaman sekarang.

Batu bata di makam KG, tebal dan besar dengan ukurang sekitar 30 cm x 20 cm. Bandingkan dengan batu bata saat ini, sangat jauh berbeda. Kami perkirakan umur dari makam ini sudah lebih dari 300 tahun. Luar biasa masih terawat dengan baik.

Ngantang, tak lebih dari satu jam kami eksplorasi. Kami kembali bergegas ke arah KRISIK. Melewati jalan yang sama saat tadi kami meninggalkan KRISIK menuju Ngantang, rasanya begitu cepat kami lalui.

Seorang tukang ojeg menyebutkan dan menunjukkan bahwa di kampung Genting desa Pagersari kecamatan Ngantang (perbatasan dengan Krisik) terdapat sebuah jalan lurus yang sudah tidak terpakai lagi, konon menurut cerita adalah karya para Romusha.

Maryoto, tukang ojeg itu menyebutkan, menurut cerita orang tuanya jalan sepanjang 300 meter di kampung Genting itu sebuah jalan yang melintasi cekungan tebing. Cekungan itulah yang diurug dengan tanah menjadi rata dan lurus, lalu dijadikan jalan penghubung hingga tahun 90an. Namanya juga tanah urukan pasti bisa ambles. Setelah ambles dan membahayakan bagi penggunanya, maka sejak tahun 90an pula sebuah jalan baru tepat dibawah jalan lurus dan rata di Genting ini dibuat.

Saya membayangkan kala jalan itu dibangun saat Romusha dulu. Betapa kala itu tidak ada alat – alat berat untuk memindahkan tanah dari tempat lain untuk membuat sebuah tanggul yang menjadi jalan raya itu. Berapa kubig tanah dan berapa banyak romusha untuk mengerjakannya. Sedih rasanya, jika hal itu benar – benar terjadi.

Saya mencoba mencari lagi, narasumber lain yang mungkin bisa menambahkan informasi. Tetapi susah didapat. Tak berputus asa maka kami tinggalkan lokasi, kembali menuju ke KRISIK. Kepala desa menjadi tujuan utama kami.

Sukani, kepala desa Krisik siang itu jam 2 siang kami temui di rumahnya. Kepada kami, pria yang sudah menjabat kepala desa sejak 1997 itu menyebutkan, dirinya memang pernah mendengar banyak cerita dari orang orang yang sepuh bahwa didaerahnya dulu memang digunakan lokasi kerja paksa para Romusha.

Bukti otentik itu adalah sebuah “goa jepang” yang berada di tebing, belakang komplek candi dan pemandian Rambut Monte. Dengan bersemangat pria paruh baya ini bergegas mengajak kami untuk meninjau langsung ke lokasi goa, yang tidak jauh dari rumahnya.

Setelah memasuki komplek Rambut Monte, kami bertiga berjalan menuju ke arah belakang pemadian. Dengan menggunakan tangan kanannya, Sukani menunjuk ke arah tebing dengan kemiringan hampir 90 derajat itu dengan mengatakan, “Teng mriko lho mas, lokasi guonipun.Njenengan nopo wantun minggah mriko?”. Saya menjawabnya, berani dan sanggup, sepertinya dekat sekali.

Lhadalahh, ternyata tinggi, dan jauh, setelah sampai ditengah tebing, hampir jalan setapaknya tidak layak untuk dilewati, guanya tidak kami temukan, karena memang beberapa hari lalu terkena longsoran tanah saat hujan deras mengguyur KRISIK. Sukani turun, lalu dikiirimkan pemandu sekaligus penunjuk arah menuju lokasi gua jepang.

Tepat diatas kami, saat tadi istirahat sejenak, sebuah jalan setapak darurat dan sangat licin akhirnya kami lewati dan tidak terlalu jauh, gua jepang itu dapat kami temukan. Luar biasa, demikian sebuah kata yang terucap saat kali pertama kami lihat gua ini.

Pemandu kami menyebutkan, awalnya seorang pencari rumput terperosok di sekitar goa, dan menemukan lobang sebesar bola kaki. Lobang itu akhirnya di ‘growongi’ atau dibuat lebih besar lagi hingga manusia bisa masuk. Sejak saat itu, gua jepang itu ramai dikunjungi masyarakat sekitar yang penasaran akan karya para romusha itu. Kedalaman goa sekitar 12 meter, dengan tinggi kubah utamanya sekitar 2,5 meter.

Pemandu kami menyebutkan, saat kali pertama ditemukan, gua itu dilengkapi langit-langit yang terbuat dari gedeg bambu, pada pintu masuk kedua, setelah pintu masuk luar, terdapat pula gawang kayu mirip pintu rumah. Beberapa senjata tajam berupa, arit, pedang/ samurai ada dikubah utamanya. Kini gedeg dan kayu kayu gawangan pintu itu tidak ada di dalam goa, sedang senjata tajamnya kala itu diamankan di Polsek setempat.

Memandang lepas keluar dari arah lubang masuk goa jepang, kita bisa melihat jelas Krisik dan sekitarnya. Artinya bisa untuk mengawasi perbatasan ke arah Blitar. Sedang untuk pengawasan perbatasan ke arah Kabupaten Malang, dilakukan diatas tebing. Lepas ke arah Utara dan Timur adalah daerah Ngantang – Malang.

Karena sulitnya jalan yang ditempuh, saya sempat jatuh 2 kali dan rekan Awang Karso jatuh satu kali, berikut kamera Panasonic MD10000 yang kami bawa. Mungkin karena kurang kehati-hatian kami, tapi juga karena jalan setapak yang sangt licin, dan terjal.

Saat tiba di pemandian dan candi Rambut Monte, segala lelah hilang sudah. Terobati semuanya karena hari ini kami bisa kembali menemukan ‘gua jepang’ selain yang di Pantai Jolosutro, Blitar selatan.

Hari sudah mulai senja, ketika kami meninggalkan Krisik. Mobil jalan dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam, melalui jalan aspal sempit menuju Wlingi. Kami berhenti sesaat di sebuah pertigaan, masuk kota Wligi dari arah utara, terlihat di areal perwasahan sebuah situs kuno. Palang nya bertuliskan Prasasti Manggut. Berbentuk batu pipih dnegan ketebalan sekitar 20 cm, setinggi 1,5 meter , hampir mirip dengan batu nisan, hanya ini besar ukurannya.

Bertuliskan huruf jawa atau huruf pallawa, kurang terlihat dengan jelas. Semua permukaan prasasti ini ditatah dengan rangkaian kalimat, yang tidak kami mengerti isi dan maknanya. Jangankan itu, bunyi kalimatnya apa saja, kami tidak tahu. Lebih heran lagi, kenapa pihak Pemerintah yang langsung membidangi kepurbakalaan tidak menempatkan sebuah catatan atau keterangan di lokasi prasasti ini.

Karya peradaban manusia masa lampau itu masih juga di buat cacat oleh corat coret tangan jahil tak bertanggung jawab. Pada penampang prasasti bagian utara, terlihat coretan berbentuk huruf “W” warna putih dan sangat merusak keaslian prasasti. Kecewa rasanya menyaksikan semua itu.

Sebuah upaya pengamanan dan pengawetan sudah dilakukan terhadap Prasasti Manggut Wlingi ini, dengan di buatkannya sebuah cungkup yang cukup luas untuk melindungi prasasti dari hujan dan panas matahari.

Lebih dari 10 jepretan dengan obyek Prasasti Manggut di kamera digital kami Sony CyberShoot, saat kami mulai meninggalkan lokasi itu. Perjalanan kami teruskan memasuki kota Wlingi, berakhir sesaat di daerah Bence, pinggir jalan sebuah warung makan, kami berhenti.

Menu makan siang setengah sore kami adalah Uceng. Ikan kecil kecil dari sungai, yang digoreng garing, sayur rebung dan oseng oseng waluh, rasanya cukup untuk menggganjal perut kami yang mulai keroncongan.

Setengah jam kami habiskan di warung makan ini, dan berakhir di basecamp kami di Mahardhika FM sekitar jam 4 sore. Begitu sampai, saya langsung kontak kawan – kawan di team lainnya untuk menyampaikan khabar mengenai ‘Gua Jepang Krisik’. Sekitar jam 6, mas Ekko dan Mas Herry (Bappeda) dan Mas Gondo Mahardhika FM, sudah kembali bersama kami, untuk membincangkan sekaligus evaluasi hasil perjalanan hunting hari ini….

GENGGAM BLITAR
Jumat, 02 FEBRUARY 2007

Pagi jam 9an, saya dan rekan Awang Karso ditemani mas Gondo, meluncur ke arah Bence Kecamatan Garum. Dalam buku buku sejarah pemberontakan PETA Blitar, disebutkan bahwa di tempat ini menjadi salah satu bukti, karena ada seorang Jepang yang di tembak oleh tentara PETA.

Seorang warga setempat, yang kala peristiwa itu terjadi menyebutkan, dirinya masih kelas 3 SD, dan pagi itu saat sedang belajar di sekolah mendengar bunyi tembakan. Maka berhamburan semua warga sekitar untuk melihat ke tempat asal suara tembakan.

Ternyata beberapa orang tentara PETA yang membunuh seorang Jepang tadi. Setelah itu diperintahkan beberap penduduk untuk menguburkan mayat jepang itu ke tanah pekarangan dekat jalan.

Makin lengkap, narasumber yang memberikan keterangan sebagai bahan film kita. Setidaknya dari beberapa peristiwa penting sekitar pemberontakan PETA.

Tak jauh dari lokasi kejadian penembakan itu adalah sebuah pertigaan yang mengarah ke Candi Sawentar. Hanya 2 kilometer. Maka saya sempatkan untuk bertandang ke sana.

Dua orang anak SD yang baru saja pulang sekolah, Wahyu dan Wahyudi malah menunjukkan pula ke lokasi penemuan Candi Sawentar II, tidak jauh dari lokasi pertama.Candi Sawentar II, masih dalam galian, kira kira 2 meter dari permukaan tanah. Jaraknya sekitar 200 meter dari Sawentar I, dan dekat dengan lokasi pasar desa tersebut. Entah kapan lagi akan dilanjutkan proses evakuasinya. Saya juga belum mengetahui kapan waktu diketemukannya.
Perjalanan kami menuju kota Blitar lagi, untuk Jumatan dan makan siang. Bersama rekan Herry, Awang Karso, kami jumatan di Masjid Depag Kab. Blitar, tak jauh dari Mahardhika FM.

Usai jumatan, kami mampir ke warung jenang dawet yang ada di stasiun kereta api Gebang. Karena cuaca an udara sangat panas, saya sampai menghabiskan dua mangkok. Rasanya seger banget.

Siang ini kami datang ke Wisma Darmadi, di jalan Shodancho Supriyadi. Di rumah yang dulu ditinggali oleh raden Darmadi, mantan Bupati Blitar ini, kami menemui Ibu Setiyani Darmadi Syah, adik Supriyadi.

Dari beliaulah kami mendapatkan gambaran, bagaimana tokoh sentral kita ini ketika kecilnya dulu, hingga beberapa hari menjelang pemberontakan PETA terjadi. Menyenangkan, itu kesan kami saat berbincang dengan beliau.

Hampir dua jam kami berada dirumah yang begitu asri dan sejuk ini, kami bergeser ke Istana Gebang, rumah dimana kedua orang tua Bung Karno dulu tinggal dan terakhir didiami oleh Bu Sukarmini Wardoyo, kakak kandung Bung Karno.

Setelah mengambil gambar beberapa sudut ruangan, hujan mendadak turun dengan lebatnya meski tidak lama, menghentikan langkah kami untuk segera ke keluarga Mbah Bendo di Bendo, Blitar.

Mbah Bendo adalah guru spiritual Supriyadi yang selama itu senantiasa dikunjungi tokoh sentral kita, apalagi menjelang detik detik pemberontakan. Dirumah mbah Bendo kami ditemui oleh bu Aminah Nursidik dan bapak Amiyono, cucu Mbah Bendo.

Mbah Bendo boleh di bilang tokoh di balik peristiwa Pemberontakan PETA Blitar. Dari padanyalah, Supriyadi selama ini sering curhat mengenai kondisi penderitaan rakyat, serta bentuk kezaliman Jepang lainnya, yang berujung pada pemberontakan.

Rumah Mbah Bendo sendiri adalah rumah dengan gaya arsitektur Jawa Mataraman. Bersoko guru 4 kayu balok besar dan tinggi dengan ornamen utama kayu pada atapnya. Sedang pintu dan jendela yang begitu lebar, dengan balai balai yang luas, menandakan gaya arsitektur rumah seorang priyayi Jawa.

Saat kami ambil gambar dan wawancara, hujan turun agak deras. Dan suasana agak gelap meski lampu rumah dinyalakan. Kami menyediakan lampu untuk kepentingan ini, hanya karena watt nya besar, maka urung kami pakai. Sebagai gantinya kami gunakan lampu mobil. Hujan reda kami segera meinggalkan rumah Mbah Bendo, sekitar jam setengah enam petang.

GENGGAM BLITAR
Sabtu, 03 FEBRUARY 2007

Pagi ini jam 7 kami berangkat ke pantai Serang di pesisir Selatan Blitar. Ini adalah pantai terakhir yang kami kunjungi di Blitar setelah pantai Tambak, dan pantai Jolosutro. Ke tiga pantai ini semua adalah pantai yang menjadi daerah romusha, sekaligus daerah latihan PETA dan pertahan Jepang, yang khawatir akan serangan Tentara Sekutu dari arah Australia.

Seorang narasumber memperkuat kisah romusha di kawasan ini Mbah Paiman namanya. Saat 1942-1945, dia adalah seorang anak kecil yang masih duduk di bangku SD. Kebetulan orang tuanya seorang kepala desa kala itu. Dari beliaualah saya mendapatkan gambaran akan nasib Romusha di pantai Serang ini.

Tak lama, hanya 2 jam kami di pantai Serang, kami segera menuju ke jembatan kali Glondong di daerah Kembangarum, Sutojayan. Kami bermaksud mencari rumah Carik tahun 1945-an yang pernah juga menjadi tempat menginap tentara PETA saat memberontak, yang bergerak ke arah selatan, hanya tidak ketemu.

Kami putuskan untuk segera bergerak kembali ke arah kota Blitar. Sekitar jam 12an, saya, mas Edo, mas Karso dan mas Agus, sudah sampai di Mahardhika FM, basecamp kami. Siang itu juga saya mandi, usai mandi langsung makan siang.

Siang ini kami merencanakan untuk dapat materi gambar-gambar tambahan hingga senin, termasuk juga tambahan narasumber. Kami bergerak ke arah pendopo Kabupaten Blitar di sekitar alun-alun. Patung Supriyadi yang ada dilokasi tersebut menjadi obyek bidikan kami selanjutnya.

Disaat yang bersamaan saya menemui rekan Ekko Bappeda yang hari itu rupanya masih menyelesaikan pekerjaannya di kantor, yang rupanya sedang dilembur. Menyusul datang, rekan Herry ke kantor. Siang menuju sore itu hujan, sehingga kami agak terbatas untuk bergerak.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00WIB, ketika kami hendak putuskan untuk menuju ke Bendo, untuk mengambil gambar makam Mbah Bendo, kami urungkan niat itu. Kami alihkan sore itu untuk dapat menjumpai pak Mardiono Gudel, di jalan Sultan Agung – Kota Blitar.

Diiringi hujan yang sangat deras kami sampai di tempat beliau. Rekan Herry menjadi jalan pembuka kami kepada beliau. Den Bei demikian panggilan Mardiono Gudel, adalah penulis buku Jejak Kaki Wong Blitar, dari beliau kami ingin mendapatkan statemen mengenai Blitar dan semangat perjuangan yang tanpa terputus.

Ketika take gambar dan vokal kami mulai, alhamdulillah hujan sudah mulai reda. Selama kurang lebih 2 jam kami menggali informasi dari Den Bei. Menarik untuk diikuti, hanya keterbatasan waktu maka, kami putuskan untuk segera meninggalkan beliau.

Sampai di Mahardhika, hasil hunting hari ini telah kami masukkan semua ke komputer. Yang masih bersama kami rekan Ekko, Herry dan Edo.


GENGGAM BLITAR
Minggu, 04 FEBRUARY 2007

Pagi pagi sekali sekitar jam setengah enam, mobil kami D1677 HD sempat saya panaskan untuk persiapan jalan pagi ini. Tak berapa lama, malah ngadat. Wah kelimpungan juga, mengingat sesuai rencana kami ingin pagi pagi sekali dapat mulai ambil gambar eks Markas PETA di jalan Shodancho Supriyadi Kota Blitar.

Jam 9 pagi, akhirnya mobil sudah “sembuh” setelah sama mas Agus didatangkan mas Herry, seorang montir mobil dari jalan Veteran Blitar. Sungguh diluar dugaan, ternyata mas Herry montir ini adalah teman saat SMA dari rekan Herry BAPPEDA. Dan setelah bertahun- tahun tidak berjumpa, karena mobil kami yang ngadat, mereka berdua dapat kembali bertemu. Sungguh suatu anugrah yang tiara tara. Silaturahmi sesama “Herry” itu berlangsung dengan mengharukan. Saya turut merasakan itu.

Jam sepuluh, saya, mas Karso, mas Herry, mas Ekko, berangkat ke rumah Mbah Moesidi Combre. Seperti yang telah kami rencanakan beberapa hari lalu, hari ini team akan mengajak beliau ke eks asrama PETA Blitar. Selain nostalgia juga untuk pengambilan gambar.

Sabtu kemaren rekan Ekko telah menghubungi pihak sekolah yang berada dalam komplek eks asrama PETA. Diantaranya SMP5,SMP6,SMP3,SMK3. Setelah pengambilan gambar ruangan kamar Halir Mangkoedidjaja, disekitar dapur bagian barat (SMP3), kami mulai masuk ke gedung Honbu.

Lhadalaaaah, terkunci gedung SMP5 tidak ada yang jaga. Sambil menunggu upaya untuk dapat masuk ke gedung utama eks asrama, saya sama mas Gondo menjemput Mbah Moesidi.
Di rumahnya, mbah Moesidi siang itu sedang monton TV, dan saat kami datang beliau sudah mengerti maksud kami. Karena selain sudah janjian, tadi sebelum ke gedung eks asrama PETA, kami sempat datangi untuk 1 jam berikutnya kami datang menjemput.

Mengenakan baju batik dan topi, ditemani salah seorang cucu laki-lakinya, kami meluncur ke lokasi. Ternyata yang jaga SMK 3 tidak ada. Wah, kegundahan kami bertambah ketika masuk ke SMP5 kunci gerbangnya juga patah saat hendak membuka gerbang. Dan ternyata lagi, yang ada di SMP5 bukan penjaga sekolahnya, melainkan tehnisi yang sedang memperbaiki komputer di laboratorium mereka. Menurutnya penjaga sekolah tidak ada.

Entah bagaimana akhirnya, upaya kami untuk membuka ‘gembok’ berhasil. Yang jelas, pasti dirusak. Setelah terbuka, mobil kami masukkan dan semua team beserta Mbah Moesidi turut serta.

Setelah saya beri penjelasan mengenai adegan yang harus dilakukan, mbah Moesidi dengan lancar melakukannya, dengan alami tidak seperti sedang di syuting. Beliau kami ajak untuk ke gedung utama, kemudian ke gedung tempat dr.Ismail praktek di poliklinik untuk PETA (SMP6). Beliau hanya kebingungan saat hendak menujukkan bekas asrama/ kamarnya dulu. Ternyata ruangan itu sudah dibongkar.

Setelah pengambilan gambar didalam gedung eks asrama PETA, kami melanjutkan ke halaman. Mbah Moesidi masih kami libatkan dalam pengambilan gambar ini. Berjalan dan mengamati monumen, lalu usai.

Karena jam makan siang telah terlewat, usai pengambilan gambar, kami ajak mbah Moesidi untuk makan siang di rumah makan Mini jalan Dr.Wahidin. aneh bin ajaib, beliau memilih menu Rawon, dan setelah makanan diantarkan, malah seluruh dagingnya diberikan kepada cucunya. Beliau bilang, sudah tidak kuat giginya mengunyah daging, dan beliau bilang “sudah bosan daging”.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB, saat kami antar pulang mbah Moesidi. Akhirnya kami meluncur ke Kelurahan Blitar, untuk mencari tahu “Tugu Batas Kota Blitar Shi” atau pathok pembatas Kota saat pendudukan Jepang, serta tugu peringatan 1 tahun Kemerdekaan RI.

Tugu Batas kota terletak di perempatan jalan samping kantor Kelurahan Blitar. Kepastian ini kami dapatkan setelah bertemu dan mengajak serta Pak Win, Sekretaris Kelurahan Blitar. Tugu batas kota Blitar Shi, kami ambil gambarnya dan kami lanjutkan untuk mendatangi lokasi penemuan batu prasasti yang baru ditemukan pada Jumat 02 February 2007 lalu. Batu prasasti yang berbentuk persegi empat dengan panjang sekitar 1 meter dan lebar sekitar 40 cm itu ketebalannya sekitar 30 cm. bertuliskan huruf yang tidak kami kenal, dan menurut Pak Win baru hari itu juga dilaporkan ke pihak Pemkot Blitar untuk diteruskan ke pihak kepurbakalaan.

Sebelumnya kami juga telah mengambil gambar Tugu Peringatan 1 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yang lokasinya dekat dengan pintu perlintasan kereta api di jalan raya Blitar – Kediri, kelurahan Pakunden. Keberadaan tugu batas kota Blitar Shi dan Tugu 1 tahun kemerdekaan RI ini, informasinya kami dapatkan dari pak Mardiono Gudel. Kami mengakiri napak tilas kami sekitar jam 6 petang tadi.

GENGGAM BLITAR
Senin, 05 FEBRUARY 2007

Jam 9 pagi kami berangkat ke makam Mbah Bendo. Setelah menemui pak Amiyono dan bu Aminah (cucu Mbah Bendo) pagi itu akhirnya kami ke makam guru spiritual Supriyadi ini. Berjalan kami, sekitar 100 meter kami telah sampai di makam Mbah Bendo.

Sekitar 1 jam kami berada di rumah mbah Bendo dan pengambilan gambar di makamnya, kami melanjutkan perjalanan ke arah Radio Mayangkara. Di radio ini, saya meluangkan waktu sejenak untuk bersilaturahmi dengan mas Iwan, salah seorang kru radio ini.

Mas Iwan adalah orang yang saya anggap guru dan seior saya pertama kali, dalam bidang radio siaran. Darinya saya belajar mengenai menjadi “orang radio”. Semua itu terjadi, saat mas Iwan atau dulu saya mengenalnya dengan nama Mas Sugeng (tahun 80-90an) saat di radio Mahameru, yang terletak di Jln. Banjaran II-29 Kota Kediri.

Pertemuan singkat saya tadi pagi merupakan pertemuan yang sudah lama saya nantikan. Tiga tahun terakhir ini saya sering ke Blitar, baru kali inilah saya dapat menemuinya lagi meski sesaat dan singkat. Pertemuan saya dengan mas Iwan terakhir kalinya, seingat saya tahun 1994 yang lalu. Kala itu saya sudah 2 tahun di Bandung.

Tigapuluh menit berikutnya saya sudah sampai di Mahardhika. Siang ini saya kedatangan pak Catur dari Bappeda Kota Blitar, yang ditemani oleh rekan Herry. Hampir satu jam kami berdiskusi mengenai FD Pemberontakan PETA.

Setelah makan siang, saya bersama mas Gondo, mas Herry dan rekan Awang Karso mulai menuju ke tukang sablon untuk memesan Bendera Jepang, di percetakan Artomoro Jaya jalan Veteran 48 Blitar. Tiga helai bendera jepang itu akan selesai besok siang.
Mendung mulai bergelayut, ketika kami berempat mulai merapat ke SMK3 eks asrama PETA Blitar. Siang menuju sore itu saya dan team akan mengambil gambar kamar Supriyadi. Dan sesaat kami sampai di lokasi hujan mulai turun agak deras.

Usai sekitar jam 4 sore, kami meluncur ke Mahardhika FM. Setelah melakukan persiapan lagi, jam 5 kurang sedikit, kami mulai bergerak kembali menuju desa Sumberagung kecamatan Gandusari, timur utara Kota Blitar.

Sore ini, jam setengah enam kami kebingungan mencari orang yang tepat untuk menunjukkan dimana keluarga Harjomiharso, Kepala Desa sumberagung saat Pemberontakan PETA kala itu. Beruntung kami bertemu dengan mas Nurwanto, warga Rejokaton Sumberagung yang bersedia menemani kami untuk mengumpulkan informasinya.

Dari mas Nurwanto kami diarahkan menuju ke mbah Damis dan mbah Pardi. Dari mbah Damis disebutkan bahwa keluarga mbah Lurah Harjomiarso sudah tidak ada lagi yang di Sumberagung. Tetapi banyak informasi lain yang kami dapatkan. Kala peristiwa pemberontakan PETA, mbah Damis yang kala itu murid sekolah dasar sempat melihat peristiwa tentara PETA yang berkumpul di balai desa Sumberagung pasca pemberontakan, saat dilucuti dan diangkut truk untuk dipulangkan ke Blitar.

Mbah Damis juga menyarankan agar kami menemui Mbah Pardi, eks tentara PETA yang rumahnya utara Sumberagung. Karena kami tidak mau melepaskan kesempatan emas ini, maka sekitar jam setengah tujuh malam, dengan ditemani mas Nurwanto kami meluncur ke rumah mbah Pardi.

Mbah Pardi, adalah eks gyuhei PETA yang rumahnya di dusun Rejokaton. Perjalanan dari Sumberagung ke rumahnya melintasi jalan ke utara beraspal dan diteruskan dengan melalui jalan tanah desa yang kondisinya benar benar jalan kampung. Sekitar 4 kilometer dari jalan utama Sumberagung, akhirnya kami sampai juga malam ini.

Disambut dengan penuh kekeluargaan dan keramahan, kami dengan ‘gayeng’ dapat mengorek informasi seputar pemberontakan PETA, karena mbah Soepardi memang pelaku sejarahnya. Sekitar 40 menit, kami rekam wawancaranya dalam bentuk audio dan visualnya.

Mbah Pardi masih fasih bertutur tentang perannya kala itu, hingga kehidupannya kini. Dengan menggunakan kursi roda, beliau bertutur baru saja sembuh dari sakit. Karena sakitnya pula, hari ini beliau baru bisa keluar kamar tidurnya.

Saya sangat senang dan haru hari ini. Betapa banyak hari ini yang kami dapat untuk menyempurnakan FD Pemberontakan PETA. Terimakasih TUHAN, Kau mudahkan kami dalam mengerjakan semua ini..Amien.

Jam 8 malam kami mulai meninggalkan Sumberagung. Saat saya membuat catatan ini, waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saya harus mandi dulu, masih banyak lainnya yang harus saya kerjakan malam ini. Syukur Alhamdulillah, rekan Ekko juga telah datang jam 9 tadi. Lumayan, masih ada rekan yang menemani lembur malam ini….mandi dulu ah..

GENGGAM BLITAR
Selasa, 06 FEBRUARY 2007

Siang itu begitu sangat panas. Ketika kendaraan yang kami tumpangi menuju Garum berhenti di lapangan yang kami tuju, panasnya berganti dengan agak sejuk, karena berhembusnya angin yang agak kencang.

Puluhan anak anak kecil bermain bola, bersepeda di tengah lapang, ketika kami kebingungan mencari tiang bendera untuk syuting siang ini. Sesaat kemudian rekan Edo, dan Evan Bappeda telah kembali membawa khabar, bahwa kantor kecamatan Garum meminjamkan tiang bendera berikut talinya. Semua berkat peran baik Camat Garum bapak Tri Setyoko,S.Sos,MM melalui Kasi Linmas nya bapak Marjanto.

Jam setengah dua siang, setelah tiang bendera diberdiri teggakkan, kami mulai kibarkan bendera Jepang. Ini adalah rekonstruksi penurunan bendera Jepang oleh Partohardjono, saat pengibaran bendera Merah Putih tanggal 14 Februari 1945 subuh.

Satu jam berada di lapangan garum yang sejuk, keasyikan sampai kami telat makan siang. Setelah selesai pengambilan adegan bergambar ini, kami langsung meluncur kembali ke Bence. Akhirnya siang jelang sore itu kami makan di Rumah Makan Uceng.

Uceng adalah sejenis ikan kali yang kecil kecil. Setelah dibersihkan, lalu di lapisi tepung bumbu, dan digoreng kering.