Sunday, February 14, 2010

RADEN GATOT MANGKOEPRADJA (Pendiri PETA)


RADEN GATOT MANGKOEPRADJA

Pahlawan yang (tidak) dimakamkan di Taman Makam Pahlawan


Lempengan keramik hitam itu bertuliskan Perintis Kemerdekaan RI, Bapak Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Rd Gatot Mangkoepradja, lahir 1901 wafat 4 Oktober 1968. Bagian paling atas sebelum rangkaian kalimat tadi adalah sebuah logo bergambar padi kapas, ditengahnya topi baja tentara dan sederatan empat huruf besar terpampang disana PETA.


Didepan lempeng keramik yang jamak disebut prasasti itu adalah sebuah makam, dengan keramik warna hitam melapisi bagiannya. Persis depan lempeng adalah makam Rd.Gatot Mangkoepradja, sedang di samping makam tersebut adalah makam istrinya.


Makam itu berada di komplek pemakaman umum (bukan di Taman Makam Pahlawan) Sirnaraga, jalan Pajajaran Kota Bandung. Letaknya yang berada persis dipinggir jalan masuk (timur) makam membuat siapapun tidak akan kesulitan jika ingin menziarahinya.




Untuk kesekian kalinya pada Sabtu – Minggu (13-14 februari 2010) ini saya menyengaja datang untuk berziarah. Saya bukanlah anak cucunya. Kecintaan saya pada Indonesia dan minat saya pada sejarah perjuangan bangsa inilah yang membuat saya sering mendatangi makam para pejuang dan pendiri bangsa, sebagai ungkapan rasa hormat dan doa agar arwahnya mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa.


Ziarah saya kali ini, ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi 65 tahun yang lalu, tepatnya pada 14 Februari 1945. Di Blitar, Markas Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), melakukan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang. Serangkaian peristiwa yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi itu diantaranya adalah dengan diledakkannya mitraliur, tembakan mortir yang disasarkan pada markas PETA dan Hotel Sakura yang dihuni oleh tentara Jepang di Blitar. Mereka juga melakukan serangkaian penyerangan pada warga Jepang yang mereka temui selama dikobarkannya pemberontakan, serta mengibarkan bendera Merah Putih, di seberang markas PETA (kini Taman Makam Pahlawan di Kota Blitar).


Pemberontakan itu boleh dikatakan gagal, karena seluruh pelaku berhasil dilucuti senjatanya bahkan diadili dan dijatuhi hukuman. Beberapa diantarnya dijatuhi hukuman mati dan hukuman penjara. Lebih misterius lagi, sang pemimpin pemberontakan Shodanco Supriyadi (seorang komandan peleton) pasca pemberontakan itu tak diketahui nasibnya.


Pemberontakan itu secara kasat mata memang boleh disebut gagal. Tapi, bisa dibayangkan pada jaman itu di kawasan Asia utamanya saat penjajahan Jepang, hanya di Indonesia-lah yang berani melakukan pemberontakan, terhadap ‘pelatih’ nya. Tentara Sukarela yang disebut dengan Tentara PETA itu adalah tentara bentukan Jepang untuk dipersiapkan dan nantinya diperbantukan untuk tentara Jepang pada perang Pasific melawan Sekutu. Nyatanya, tentara PETA malah ‘memakan tuannya sendiri’.


Telah banyak dituliskan dalam buku buku sejarah, bahwa pemberontakan itu terjadi karena tentara PETA yang muak dan tidak terima karena melihat rakyat dan bansganya yang diinjak injak martabatnya oleh Jepang si penguasa yang mengaku sebagai ‘saudara tua’ bangsa Indonesia. Akibat pemberontakan ini, Jepang harus menutupinya agar tidak merembet peristiwa serupa ke satuan markas tentara PETA lainnya, utamanya di pulau Jawa. Namun demikian, pasca peristiwa Blitar terjadi pula pemberontakan di kalangan tentara PETA Cilacap juga di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan. Sekali lagi, serangkain perlawanan atau pemberontakan itu, bisa dipadamkan. Ada satu hal yang tidak bisa mati dan tak padam, yaitu semangat untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Dan itu telah ditunjukkan oleh putera putera terbaik bangsa ini.


Keberadaan Tentara PETA di bumi nusantara ini, bahkan disebut sebut sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena salah satunya berkat usulan yang disampaikan oleh Raden Gatot Mangkoepradja.


Keterlibatan Gatot Mangkoepradja dalam pergerakan nasional diawali ketika ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) berdiri di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927, Gatot Mangkoepradja segera menggabungkan diri dengan organisasi yang dipimpin oleh Ir. Soekarno itu. Akibat menjunjung tinggi konsep revolusi Indonesia, maka pada tanggal 24 Desember 1929 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Gatot Mangkoepradja dan para pemimpin PNI lainnya. Penangkapan terhadap Gatot Mangkoepradja baru dapat dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 di Jogyakarta. Gatot ditangkap bersama-sama dengan Ir. Soekarno. Mereka kemudian dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke Penjara Banceuy.


Pada tanggal 18 Agustus 1930, Gatot Mangkoepradja mulai dihadapkan ke Landraad Bandung (kini Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan-Bandung) bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata. Mereka dijerat dengan tuduhan Pasal 169 bis dan 153 bis Wetboek van Strafrecht (KUHP-nya zaman kolonial). Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr. Siegenbeek van Heukelom dengan Jaksa Penuntut : R. Soemadisoerja. Peristiwa ini dikenal dengan nama Indonesia Menggugat.


Pada tanggal 25 April 1931, akibat perpecahan PNI menjadi Partindo dan PNI-Baru, maka Gatot Mangkoepradja bergabung dengan Partindo karena ia merasa partai ini mempunyai persamaan ideologi dengan PNI. Namun tak lama, akhirnya ia keluar dari Partindo karena merasa kecewa dengan Soekarno dan bergabung dengan PNI-Baru pimpinan Hatta.


Pada masa penjajahan Jepang, Gatot Mangkoepradja yang telah dikenal baik oleh Jepang diberi wewenang untuk menjalankan Gerakan 3 A yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia. Akan tetapi usaha Jepang ini gagal karena Gatot Mangkoepradja tidak mau kooperatif. Karena penolakan ini maka ia ditahan oleh Kempeitei.


Setelah keluar dari tahanan, beliau mengajukan usul kepada Jepang untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1943 dibentuklah secara resmi Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) melalui Osamu Seirei No. 44 Tahun 1943.

Berikut surat GATOT MANGKOEPRADJA yang ditujukan kepada pimpinan militer Jepang di Indonesia kala itu :


=====

Dipersembahkan

Kehadapan Padoeka Jang Moelja

Toean GUNSEIKAN

Jang bersemajam di

D j a k a r t a


Dengan segala hormat,


Hamba, seorang Indonesia, bernama RADEN GATOT MANGKOEPRADJA, lahir di Soemedang pada tg. 15 Juni-Gatsu 2559, sekarang tinggal di Kampoeng Bihboel, Tjiandjoer.


Mempersembahkan, sepoetjoek soerat ini kehadapan Padoeka Jang Moelja, disertai dengan permoehoenan ma’af terlebih dahoeloe oleh karena Hamba telah memberanikan diri oentoek mempersembahkan ini adanja.


Bahwa Hamba pertama hendak menghatoerkan beriboe-riboe terima kasih kehadapan Padoeka Toean, oleh karena Kebidjaksanaan dan Ketangkasan Balatentara Dai Nippon, Rakjat Indonesia moelai sadar dan insjaf. Begitoe poela Rakjat Indonesia sekarang soedah insjaf dan soedah hidoep semangatnja oentoek bekerdja memperkoeat Garis Belakang dari Perang Asia Timoer Raya ini.


Bahwa Hamba sampai mengharapkan, jang bangsa Indonesia bukan sadja tinggal dibelakang dan memperkoeat Garis Belakang, akan tetapi djoega toeroet terdjun ke Medan Perang, ikoet melawan dan meroentoehkan kekoeasaan Inggeris, Amerika dan sekoetoenja.


Bahwa boleh djadi pada masa sekarang bangsa Indonesia tentoe beloem tjoekoep tjerdas dan tangkas oentoek bertempoer di Garis Moeka, akan tetapi Hamba pertjaja dan jakin, bahwa dibawah Pimpinan Balatentara Dai Nippon, bangsa Indonesia tentoe akan tjakap mendjaga dan membela Poelau Djawa.


Bahwa sekarang menoeroet penglihatan Hamba Semangat oentoek menggerakkan diri dalam satoe , ‘Barisan Pembela’ soedah timboel didalam hati sanoebari bangsa Indonesia.


Bahwa Semangat ini dibawah pemeliharaan dari Pemerintah Balatentara Dai Nippon, tentoe akan hidoep.


Bahwa, keinginan Hamba ini ada disebabkan hal-hal sebagaimana dengan singkat dipersembahkan di bawah ini:


P e r t a m a : Selama tigaratoes limapoeloeh tahoen kebelakang maka segala kemaoean dan segala oesaha bangsa Indonesia telah sia-sia belaka, karena angkara moerkanja tjara Pendjadjahan oleh negeri Belanda, dan oleh karena Itoe maka segala Semangat dan Kemaoeannja mendjadi mati terbenam.


K e d o e a : Karena angkara moerkanja Pemerintah Belanda di Indonesia, lagi poela kerena nafsoenja Imperialisme Bangsa-bangsa Barat, jang memakainja kekoeasaan Pemerintah Belanda di Indonesia, maka Bangsa Indonesia soedah djatoeh kedalam djoerang jang terbawah sekali, dan mendjadikan Rakjat miskin rezekinja, miskin boedi dan pekertinja.


Bahwa djikalau tindakan ini tidak dipatahkan sama sekali, mungkin mereka akan menerkam poela negeri-negeri di Asia Timoer Raya.


Bahwa, oleh karena itoe tiap-tiap bangsa dan Negeri jang oleh karena Kekoeatan dan Ketangkasan Balatentara Dai Nippon soedah terlepas dari tjengkeraman Inggeris dan Amerika dan sekoetoenja, wajib insjaf, bahwa ia tidak boleh hanja tinggal menjoesoen kehidoepan sendiri sadja, hanja mendjadi penonton sadja, dan hanja maoe dibela sadja. Akan tetapi, tiap-tiap Bangsa itoe, haroes insjaf bahwa ia sendiri haroes terdjun kedalam Medan Peperangan, membela Tanah Airnja, membela Keselamatan Asia Timoer Raya.


Hamba poen berkejakinan, bahwa, sebagaimana tadi telah dipersembahkan diatas, sekarang Bangsa Indonesia beloem ada ketjakapan dan ketangkasan boeat toeroet berdjoeang di Garis Moeka Medan Perang. Akan tetapi Hamba jakin dan pertjaja, bahwa dengan Pimpinan Balatentara Dai Nippon, Bangsa Indonesia bisa memperlihatkan ketjakapan dan ketangkasan oentoek mendjaga dan membela Poelau Djawa.


Oleh karena itoe, maka Hamba sangat bermoehoen kehadapan Padoeka Toean Jang Moelja, soedi apalah kiranja Padoeka mempertimbangkan oentoek memberi kesempatan kepada Hamba, oentoek menggerakkan satoe Barisan Pembela dari Bangsa Indonesia di Poelau Djawa, jang sanggoep dengan sesoenggoehnya boeat membela Poelau Djawa dibawah Pimpinan Balatentara Dai Nippon, dan jang setiap waktoe siap mengorbankan segala-galanja oentoek kepentingan bersama itoe, dan kemoedian siap djoega oentoek melawan dan menghantjoerkan kekoeatan dan kekoeasaan Inggeris dan Amerika.


Bahwa Hamba sendiri berdjandji sanggoep mengorbankan segala Tenaga, Pikiran dan Djiwa kepada Pemerintah Dai Nippon, dan sanggoep mendjalankan kewadjiban sebagaimana moestinja oentoek keselamatan Poelau Djawa dan pendoedoeknja.


Bahwa, menoeroet Sabda Padoeka Jang Moelja Toean Djenderal TOZYO jg, mendjadi Perdana Menteri Negeri Dai Nippon sebagaimana djoega telah disembarkan kepada Rakjat Indonesia oleh Padoeka Jang Moelja SAIKOO SIKI KAN dan oleh Jang Moelja Toean GUNSEIKAN, kepada rakjat Indonesia akan dan sedang diberi kesempatan boeat toeroet tjampoer dalam oeroesan Pemerintah Negeri disini.


Bahwa, menoeroet pertimbangan Hamba, Rakjat Indonesia, djikalau betoel sesoenggoehnja hendak dipandang tjakap boeat toeroet tjampoer dalam oeroesan Pemerintah Negeri, wadjib mempersembahkan pekerdjaan-pekerdjaan jang njata, dan tiada hanja tinggal dalam keinginan sadja.

Maka menoerot pertimbangan Hamba, adalah mewoejoedkan satoe Barisan Pembela, djoega satoe pekerdjaan jang akan mewoejoedkan kemaoean jang betoel-betoel dan kelak tentoe akan mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Tertinggi.


Oleh karena itoe, maka Hamba sangat bermoehoen kehadapan Padoeka Jang Moelja, soedi apalah kiranja Padoeka kapada Hamba memberi kesempatan oentoek menjoesoen Barisan Pembela itoe, dibawah Pimpinan Balatentara Dai Nippon, jang soenggoeh-soenggoeh hendak toeroet membela dan mempertahankan kedoedoekan dan keselamatan Poelau Djawa dan Pendoedoeknja.


Teriring dengan segala hormat

Dari hamba

GATOT MANGKOEPRADJA.


[Surat ini dipublikasikan di koran-koran dan radio pada masa pendudukan Jepang untuk membentuk Tentara Soekarela Pembela Tanah Air (PETA)]


=====


Pasca kemerdekaan Gatot Mangkoepradja kembali bergabung dengan PNI pada tahun 1948. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada tahun 1955 karena kecewa bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan.


Setelah peristiwa Gestapu tahun 1965, Gatot Mangkoepradja menyatakan dirinya masuk ke Partai IPKI karena partai ini berjuang untuk menyelamatkan Pancasila dari ancaman komunisme. Setelah itu ia aktif dalam Gerakan Pembela Pancasila dan tahun 1962 menjadi anggota MPRS. Ia diberhentikan Soeharto sebagai anggota MPRS tahun 1966 karena dianggap pendukung Bung Karno.



Tambahan :


Kini, melalui mesin pencari cobalah anda cari dengan kata kunci “Gatot Mangkoepradja”. Niscaya ribuan tempat akan bisa anda kunjungi untuk mencari tahu siapa sebenarnya Gatot Mangkoepradja. Jika ingin lebih lengkap lagi, maka segeralah cari buku GATOT MANGKOEPRADJA yang ditulis oleh Nina H Lubis Buku setebal 183 halaman ini dipublish oleh Satya Historika pada 2003 lalu.



Atau, cobalah cari image atau picture dengan kata kunci yang sama “Gatot Mangkoepradja”. Niscaya anda tak akan mendapati gambar wajah sang tokoh besar yang baru mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada Rabu 10 November 2004 lalu. Pengaugerahan yang diputuskan melalui keputusan Presiden Nomor 089 TK Tahun 2004 itu dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Jakarta.


Satu satunya foto Gatot Mangkoepradja yang kini bisa dilihat bebas oleh public adalah foto saat muda di Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan – Bandung.



\\\bw\\\

Saturday, February 13, 2010

PEMBERONTAKAN PETA BLITAR (FILM,BUKU & NOVEL GRAFIS)

PEMBERONTAKAN PETA BLITAR Film, Buku dan Novel Grafis

Tak Banyak sumber rujukan buku buku sejarah yang dapat 'disentuh langsung' oleh anak bangsa ini, utamanya mengenai sejarah Pemberontakan Tentara PETA di Blitar pada 14 Februari 1945. Jika adapun, buku buku itu berada di rak rak buku yang tidak terdapat di toko buku, dan perpustakan umum. Adanya tentu di tempat yang khusus.

Bersamaan saat saya menyelesaikan film semi dokumenter (2007) mengenai Pemberontakan PETA di Blitar sebenarnya seorang kawan di Blitar telah menyelesaikan buku yang sama dengan judul " SEBILAH KERIS BERSELEMPANG SAMURAI" karya Hery Setiyo Budi. Tahun 2008, ada pula seorang mahasiswa Blitar yang kuliah di Surabaya, menyelesaikan Skripsinya, dengan membuat NOVEL GRAFIS mengenai Pemberontakan PETA Blitar ini.

Disusul dengan Buku yang 'menghebohkan' MENCARI SUPRIYADI pada medio 2008 lalu karya Baskara T.Wardaya. Tahun 2009 lalu, di Australia telah ada film mengenai Pemberontakan Tentara PETA ini, judulnya adalah "NAMAKU SUPRIYADI". Sayangnya film ini tidak beredar di Indonesia. Sila klik di : http://www.repliqueministry.org/supriyadi/

Pada April 2008 lalu, saya pernah posting di Multiply, mengenai Novel Grafis Pemberontakan PETA BLITAR, sila klik di : http://cahdjengkol.multiply.com/journal/item/63/Kisah_Pemberontakan_PETA_Blitar_dalam_Novel_Grafis


==============================
TULISAN SAYA DUA TAHUN LALU ITU
==============================


KISAH PEMBERONTAKAN TENTARA PETA BLITAR
DALAM NOVEL GRAFIS
29 April 2008


Setelah hampir 2 bulan lebih sejak Februari 2008 lalu saya tidak ketemu dengan Sinyo, hari ini dia datang dengan membawa draft karyanya yang akan menjadi tugas akhir dalam studi nya.

Sinyo adalah seorang mahasiswa Desain Komunikasi Visual sebuah PTS di Surabaya semester akhir yang menyelesaikan TA nya dengan membuat Novel Grafis. Novel Grafis menurutnya adalah layaknya Komik, hanya penggarapan dan isinya lebih mendalam. Tidak tanggung tanggung, sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Blitar, dia memilih mengerjakan Novel Grafisnya mengenai Pemberontakan PETA Blitar melawan Jepang. Sebuah peristiwa heroik yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, pada February 1945.

Awal perjumpaan saya dengan Sinyo terjadi pada Januari 2008 lalu, ketika saya mendokumentasikan kegiatan pematung Blitar, Bondhan Widodo yang sedang menyelesaikan pembuatan monumen PETA (melengkapi patung yang sudah ada sebelumnya) di bekas markas tentara PETA Blitar, di jalan Shodanco Supriyadi. Mas Bondhan mengenalkannya pada saya, dan menyebutkan bahwa, dulu saat masih sebagai pelajar sekolah dasar, Sinyo adalah muridnya di Sanggar Harapan.

Sanggar Harapan sendiri, hingga kini masih eksis, memberikan pelajaran dan bimbingan seni lukis serta menggambar untuk anak anak sekolah dasar hingga SMA yang dikelola mas Bondhan. Yang masih juga saya ingat, Mas Bondhan bercerita juga, bahwa sinyo memiliki bakat dan talenta yang kuat untuk menggambar.




Apa yang disampaikan Mas Bondhan mengenai masa kecilnya Sinyo, ternyata benar adanya. Sinyo yang kala itu rajin mendatangi gurunya saat pembuatan patung tentara PETA, menyampaikan maksudnya untuk membuat Novel Grafis tentang pemberontakan yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi itu, akhirnya diarahkan untuk menemui saya, karena banyak data mengenai PETA yang telah saya himpun.

Benar juga, semenjak perkenalan itu, Sinyo datang terus menerus untuk mengumpulkan data, dan melakukan diskusi dengan saya. Hasil dari pertemuan demi pertemuan itu, akhirnya ditunjukkannya pada saya dan saya sampaikan padanya “ Ini Luar Biasa”. Barangkali akan menjadi Novel Grafis pertama di Indonesia, mengenai pemberontakan PETA Blitar.

Meski masih draft dan baru sekitar 75 persen, gambar demi gambar yang disodorkannya ke saya, sudah mampu bercerita banyak. Menurut Sinyo, dia membutuhkan waktu 2 minggu lagi untuk menyelesaikan novel grafisnya. Tahapan selanjutnya adalah tinggal menambahkan tulisan/ kalimat untuk percakapan dan pendukung kisah bergambar itu.




Setelah film dokumenter yang saya kerjakan pada akhir 2006 - awal 2007 lalu, dan sebuah buku yang telah selesai ditulis oleh rekan Hery Setiyo Budi http://databaseku.multiply.com/journal/item/4/Sinopsis_SEBILAH_KERIS_BERSELEMPANG_SAMURAI pada 2007 lalu, 2008 ini kisah pemberontakan PETA Blitar, akan kembali diaktualisasi dalam bentuk Novel Grafis.



Friday, February 12, 2010

14 FEBRUARI 1945 : PEMBERONTAKAN TENTARA PETA BLITAR

14 FEBRUARI 1945 :
PEMBERONTAKAN TENTARA PETA BLITAR & KIBAR SANG MERAH PUTIH
SEBELUM PROKLAMASI


Pekan - pekan ini saya menyempatkan kembali membuka arsip lama, berupa tulisan lepas, agenda kegiatan saya hingga kembali ‘menilik’ sebuah file film documenter yang saya kerjakan pada awal tahun 2007 lalu. Pemicunya seorang kawan jurnalis dari Semarang, yang tengah menyiapkan tulisan mengenai “ BLITAR 14 FEBRUARI 1945”. Awalnya setahun lalu ia searching di google, dan memang menemukan postingan saya pada 13 Februari 2009 di http://cahdjengkol.multiply.com/journal/item/79/MENCARI_SUPRIYADI_SANG_MERAH_PUTIH_14_FEBRUARI_1945

Sejak kemunculan Andaryoko Wisnuprabu (telah meninggal pada Rabu 03 Juni 2009), seorang pria berusia 89 tahun asal Semarang Jawa Tengah yang mengaku sebagai panglima Tentara Keamanan Rakyat Supriyadi dan memimpin Pemberontakan Tentara PETA di Blitar pada 14 Februari 1945, beberapa kawan jurnalis memang banyak yang menghubungi saya untuk mengumpulkan data yang pernah saya himpun, tatkala saya menyiapkan pembuatan film dokumenternya di Blitar.

Benar tidaknya pengakuan Andaryoko Wisnuprabu adalah Supriyadi, seperti yang ditulis oleh sejarawan Baskara T.Wardaya dalam bukunya Mencari Supriyadi, setuju atau tidak masyarakat terhadap pernyataan Andaryoko, ia telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir ulang mengenai sejarah. Narasi sejarah yang selama ini didengar tidak sepenuhnya benar. Terutama sejarah yang tujuannya untuk kepentingan tertentu. Dengan itu masyarakat disadarkan bahwa peristiwa sejarah merupakan sesuatu yang multiinterpretasi. Sejarah juga dapat ditafsir ulang. Fakta yang ada mungkin sama, tetapi interpretasi atas makna bisa berbeda. (Kompas.com 04 Juni 2009).




Buku ‘Mencari Supriyadi’ yang kali pertama di luncurkan di Semarang, pada Sabtu 9 Agustus 2008 itu memang menuai kontoversi. Di berbagai belahan Indonesia, khususnya di Jawa Timur, kehebohan terjadi. Berbagai pendapat, pro dan kontra tersulut karena pernyataan menghentakkan itu. Di Blitar apalagi. Sampai sampai pihak Pemerintah Kota Blitar menggelar acara khusus dengan menghadirkan Andaryoko ‘Supriyadi’ untuk didengar kesaksiannya. Keluarga besar Supriyadi yang tinggal di Jakarta, Bogor dan Blitar mengeluarkan pernyataan keras; “Andaryoko bukan Supriyadi anggota keluarga kami”.




Sebagai pelaksana pembuatan produksi film semi documenter “Pemberontakan PETA BLITAR” yang didanai oleh Pemerintah kota Blitar Jawa Timur Pada akhir 2006 awal 2007 lalu, rasanya saya perlu re-posting/posting ulang tulisan saya mengenai peristiwa besar ini. Sekali lagi saya tidak akan mempersoalkan keberadaan siapapun yang pernah mengaku dirinya “Shodanco Supriyadi”. Namun hanya sekadar mengingatkan kepada siapapun, akan makna tanggal 14 Februari.

Tulisan ini juga untuk sekadar mengingatkan kepada siapapun diantara anda yang dengan secara sengaja me-reposting ulang tulisan karya saya ini, di berbagai laman di internet dengan TANPA MENYEBUTKAN SUMBERnya.



==============================
TULISAN SAYA SETAHUN YANG LALU
==============================


Ini hanya sebuah bahasa bathin, yang saya tuliskan dalam rangkaian kata demi kata yang mewakili perjalanan telisik saya akan makna tanggal 14 Februari. Tanpa bermaksud mengesampingkan narasumber lain dan data manapun serta catatan sejarah perjuangan bangsa , tulisan ini hanya sebuah ungkapan pribadi saya dalam upaya merekam jejak SUPRIYADI dan BENDERA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1945.


JEPANG, TENTARA PETA, BLITAR & SUPRIYADI

Pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada 14 Februari 1945, hingga kini masih menyisakan berbagai pertanyaan, khususnya mengenai Shodanco Supriyadi, sang inisiator yang sekaligus pemimpin perlawanan terhadap tuannya itu. Disebut tuannya, karena Tentara PETA yang beranggotakan para pemuda pribumi Indonesia itu adalah didikan tentara Pendudukan Jepang, yang akhirnya malah memakan tuannya. Murid melawan Guru.

Dan kala itu Tentara PETA Daidan Blitar-lah, yang kali pertama melawan tuannya, Jepang yang sedang bercahaya di Asia. Beberapa pemberontakan, sebenarnya telah terjadi sebelumnya yang dibidani oleh para ulama dan tokoh masyarakat di berbagai tempat di Indonesia. Setelah Peristiwa Daidan Blitar, Tentara PETA di tempat lain juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan oleh Shodanco Supriyadi dan kawan kawannya. Satu benang merah yang bisa disimpulkan dari masing masing perlawanan dan pemberontakan itu adalah Indonesia sudah tidak mau dijajah lagi, Indonesia harus Merdeka.



Penderitaan rakyat di berbagai tempat di bumi Nusantara kala itu sudah sangat parah. Harga diri bangsa yang diinjak injak, kemiskinan, kelaparan dan berbagai kesengsaraan menjangkiti sendi kehidupan. Ibaratnya, sore sakit malam mati, malam sakit pagi mati, pagi sakit siang mati, siang sakit malam mati, begitu seterusnya tiada henti. Demikianlah kira – kira yang dapat dilukiskan, dari satu sudut pandang mengenai keberadaan rakyat Indonesia yang dimobilisasi sebagai Romusha. Setiap hari, ratusan nyawa menjadi tumbal bagi kemerdekaan bangsa ini.

Pemandangan menyesakkan dada dan membuat perih mata bathin itu pula yang akhirnya membakar nasionalisme Shodanco Supriyadi dan kawan – kawannya di markas tentara PETA Blitar, dan benar benar menyala sebagai kobaran api patriotisme pada hari Selasa Legi Malam Rabu Pahing 14 Februari 1945. Meski dalam hitungan jam, nyala api pemberontakan itu dapat dipadamkan, tak urung membuat pihak Tentara Pendudukan Jepang di Blitar serasa kebakaran jenggot. Serta merta, berbagai upaya di lakukan pihak Jepang untuk mengeliminir agar peristiwa itu tidak menyebar informasinya bahkan menjangkiti Daidan PETA di tempat lain untuk turut berontak.



Pemberontakan PETA ini, walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Supriyadi namun dari sisi dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia. Sekali lagi pemberontakan PETA telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena peristiwa tersebut merupakan satu satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikata sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang dijajah Kolonial Jepang.

MENCARI SUPRIYADI

Lebih dari 20 orang nara sumber (pelaku pemberontakan banyak yang sudah meninggal dunia) baik yang bersinggungan langsung atau tidak dengan peristiwa pemberontakan PETA Blitar pernah memberikan keterangan kepada saya. Mereka dengan lancar mengisahkan keterlibatan dirinya dalam peristiwa pemberontakan PETA Blitar, 64 tahun yang silam. Mereka diantaranya adalah mantan anggota tentara PETA Blitar berpangkat Gyuhei, Budhanco, bahkan eks Shodanco, meski bukan dari Daidan Blitar. Di hari tuanya, mereka tersebar di berbagai pelosok dan sudut Blitar, hanya tinggal beberapa orang saja.

Beberapa ahli waris pelaku pemberontakan PETA, mulai dari keluarga Supriyadi di Blitar pun tak luput dari incaran untuk dapat kembali mengisahkan suasana kala itu. Saya melengkapinya dengan menelisik ulang dengan mendatangi nara sumber lainnya. Disebutkan dari berbagai buku mengenai sejarah pemberontakan PETA, terakhir kali terlihat Shodanco Supriyadi berada di kediaman Hardjomiarso, Kepala Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari (bahkan desa Sumberagung juga sempat dijadikan markas terakhir pemberontakan). Tak dapat saya temukan narasumber yang bisa memberikan keterangan mengenai sosok Hardjomiarso. Namun demikian, makam sosok Lurah yang banyak membantu Tentara PETA itu dapat saya temukan di desa Sumberagung Gandusari Kabupaten Blitar. Makam keluarga itu terawat dengan baik. Sebuah saksi yang tidak mampu bertutur.

Air terjun Sedudo, di Nganjuk adalah sebuah tempat lainnya di Jawa Timur yang konon menjadi tempat yang pernah disinggahi oleh Supriyadi, pasca pemberontakan. Sebuah nama tertulis juga dalam buku sejarah pemberontakan PETA, bahwa yang bersangkutan ikut membantu “menyembunyikan” Supriyadi dalam sebuah gua di puncak bukit dekat Sedudo. Dalam cuaca berkabut dan hujan deras, bersama seorang ahli waris “si penyembunyi” akhirnya saya berusaha untuk mendatanginya. Tak terjawabkan pula, dimana Supriyadi berada.

Krisik, adalah sebuah desa di wilayah Kabupaten Blitar yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang. Sebuah gua pertahanan jaman Jepang terdapat di sana. Seharian penuh, akhirnya saya dapat mencapai lokasi dimaksud. Dari data yang saya peroleh, disebutkan tentara PETA dan para romusha yang membuat gua – gua pertahanan dimaksud. Tak saya dapatkan keterangan tambahan mengenai keberadaan Supriyadi.

Pantai Tambak, Pantai Jolosutro, Pantai Serang di Blitar Selatan. Dilokasi ini, dulu tentara PETA Blitar membuat pertahanan, berlatih dan dengan mata telanjang, mereka melihat ratusan romusha bekerja paksa hingga menemui ajalnya. Supriyadi pernah berada dilokasi dimaksud. Namun kembali tak ada narsumber yang mampu bertutur mengenai adanya.

Panceran desa Ngancar Kecamatan Ngancar di Kabupaten Kediri, dilereng Gunung Kelud juga emplasemen Perkebunan Sumberlumbu, Perkebunan Sumberpetung telah pula saya datangi. Lereng Kelud adalah salah satu tempat yang dijadikan basis gerilya pasca pembontakan. Tak ada keterangan yang bisa menyebut akan keberadaan Supriyadi.

Saksi keberadaan Supriyadi yang masih ada hingga saat ini adalah Bangunan bekas Markas Tentara PETA di jalan Shodanco Supriyadi Blitar. Di kawasan yang kini dijadikan komplek pendidikan ini, terdapat bekas kamar tidur Supriyadi, dapur tentara PETA, bahkan kini telah berdiri megah monumen PETA Blitar. Tujuh patung terwujud disana menggambarkan wajah mereka pada saat pemberontakan terjadi 14 Februari 1945.

MENCARI SANG MERAH PUTIH
14 FEBRUARI 1945

Bicara mengenai pemberontakan PETA Blitar, sebenarnya tidak hanya bicara mengenai sosok Supriyadi yang misterius. Seketika setelah pemberontakan berlangsung sebuah bendera (yang akhirnya kini menjadi bendera Republik Indonesia) warna merah putih, berkibar di Blitar.

Adalah Parthohardjono (Tentara PETA Blitar), seorang yang dengan gagah berani megibarkan merah putih di lapangan depan markas Tentara PETA Blitar. Tempat itu, kini masuk dalam kawasan taman makam pahlawan Raden Wijaya, kota Blitar, persis di seberang monumen PETA Blitar. Sebuah catatan menyebut, pasca proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 Panglima Besar Jenderal Sudirman mengunjungi tempat ini, sekaligus menyematkan karangan bunga.

Parthohardjono, yang kala itu tidak tinggal didalam asrama Tentara PETA Blitar (karena telah menikah), memilih tinggal indekos disebuah rumah tak jauh dari asrama. Bersama istrinya, berbulan – bulan memang telah menyiapkan kain merah (bekas kain penutup peti/ kotak peluru/ amunisi) dan kain putih, bekas sarung bantal untuk akhirnya dijadikan bendera. Disimpan sangat hati – hati, agar tidak ketahuan tentara Jepang, akhirnya berhasil pula menyelundupkan bendera tersebut dan dibawa persis waktu malam pemberontakan.

Ketika pemberontakan berlangsung, ketika mortir diledakkan, ketika aba aba komando tanda mulainya pemberontakan di serukan oleh Supriyadi, malam itu Kota Blitar benar benar mencekam suasananya. Hiruk pikuk tentara PETA yang mulai melakukan pemberontakan terhadap tuannya itu, makin membuat keberanian Parthohardjono memuncak.


Ia menuju tiang bendera di sisi utara lapangan markas PETA Blitar. Dengan kidmad, sang saka merah putih dinaikkan. Dalam posisi siap tegak berdiri, Parthohardjono melakukan hormat bendera. Sesaat setelahnya, dia bersujud di tanah lapang itu, mencium tanah tiga kali dengan mata berkaca – kaca haru, yakin bahwa malam itu Indonesia Merdeka.Keterangan ini tidak saja termuat dalam buku sejarah pemberontakan PETA. Ini adalah sebuah keterangan yang disampaikan oleh menantu Parthohardjono, di Blitar. Di hari tuanya, Parthohardjono memilih untuk tetap menjadi rakyat biasa. Parthohardjono, lebih dikenal dengan nama sebutan Partho Wedhus. Wedhus adalah kambing dalam bahasa Jawa. Memang, dihari tuanya Parthohardjono, sering membantu para petani dan tetangga desanya dengan menyumbangkan kambing untuk diternak dengan sitem bagi hasil.

Sayang, hanya sebuah makam yang dapat saya temui. Yang tidak bisa bercerita langsung akan peristiwa heroik itu. Permintaan Partohardjono kepada putrinya kala itu, “ Jika waktunya tiba, aku jangan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan”. Makam Parthohardjono, sang pengibar bendera merah putih 14 Februari 1945 itu (6 bulan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945) berada disebuah makam desa, nun jauh dari Kota Blitar. Sebuah makam sederhana tanpa embel embel PAHLAWAN.Kemana merah putih yang telah berkibar pada 14 Februari 1945 itu, hingga kini tidak ada seorangpun yang mampu menunjukkannya.


REFLEKSI 14 FEBRUARI 1945

Kobaran Api Patriotisme dan Nasionalisme Pemberontakan PETA Blitar itu, hingga kini masih menyala, dan menjelma sebagai sebuah spirit khususnya bagi pemerintah kota Blitar dan warganya. Pun juga Kabupaten Blitar. Umumnya bagi Pemerintah Republik Indonesia.



Sudah seharusnya spirit itu mampu menjadi cambuk bagi Pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan memakmurkan rakyatnya. Betapa Supriyadi telah nyata memberikan bukti untuk melawan kesewang wenangan, melawan penindasan, melawan penjajah. Bukankah Parthohardjono telah memberikan tauladan keberanian dan semangat perjuangan yang begitu besarnya, karena kecintaanya kepada Tanah Air. Bukankah, tentara PETA rela meregang nyawa untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu sejajar dengan bangsa dan terbebas dari belenggu penjajahan.

Sungguh ironis kiranya, jika pemberontakan PETA BLITAR hanya membekas sebagai sebuah catatan sejarah belaka. Sungguh ironis jika peristiwa heroik itu hanya diagendakan untuk diperingati tiap tahunnya dalam sebuah seremonial tanpa makna. Dan sungguh ironis jika pemerintahan negeri ini, malah membuat rakyatnya miskin dan terjajah, dan tak mampu membuat sejahtera rakyatnya.